Ketika kita melaksanakan shalat Jumat di Masjid Jami’ Gontor, tentu kita akan mendapati sang Imam mengenakan jubah dan ghutrah yang dipasang di kepala. Itulah K.H. Hasan Abdullah Sahal, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) sekaligus putra dari salah satu Trimurti Pendiri PMDG, K.H. Ahmad Sahal – semoga Allah meridhoi keduanya–.
Jujur saja, sampai cerita ini saya dengar, saya masih terheran-heran dan bertanya-tanya. Mengapa beliau selalu mengenakan jubah saat mengimami shalat Jumat? Padahal biasanya style santri Gontor saat shalat, seperti yang kita tahu: Sarung, peci hitam, kemeja, dan kadang memakai jas pula. Lalu mengapa para santri tidak memakai jubah seperti imam shalat jum’at? Pasti ada alasan di balik ini.
Kala Masjid Jami’ Gontor sedang dalam masa pembangunan, Kiai Ahmad Sahal pernah bergumam yang kira-kira redaksinya begini:“Masjid sebesar dan semegah ini, kalau imamnya pakai jubah bagaimana ya?” Wajar saja hal itu terucap karena kewibawaan Masjid Jami’ Gontor. Bisa jadi kala itu, Masjid Jami’ Gontor adalah masjid terbesar dan termegah se-kawasan Ponorogo.
Akan tetapi, Allah berkehendak lain. Allah sudah terlanjur rindu dengan wali-Nya yang bersahaja itu. Seakan-akan sudah waktunya untuk menikmati keindahan alam surga yang abadi. Kiai Ahmad Sahal dipanggil oleh Yang Maha Kuasa sebelum Masjid Jami’ Gontor diresmikan. Beliau yang dikisahkan sering memandangi pembangunan masjid pun akhirnya belum sempat menjadi imam di situ. Namun, meski begitu, beliau sudah lenggah dan tersenyum di sisi Allah, kekasihnya.
***
Sayang seribu sayang. Sebenarnya ada satu keinginan Kiai Ahmad Sahal sebelum wafatnya. Yaitu bertemu dengan anak kesayangannya yang bernama Hasan Abdullah Sahal atau akrab dipanggil Hasan. Ialah yang nantinya akan menjadi khalifah atau pengganti beliau dalam memimpin PMDG. Nantinya, Hasan pula yan ditunjuk untuk jadi pemangku masjid, sesuai wasiat ayahnya.
Tatkala malaikat juru pati akan uluk salam ke hadirat Kiai Ahmad Sahal, beliau memandangi kitab-kitab milik Hasan muda yang ditata rapih di kamar beliau. Kitab-kitab itu dibawa dari Madinah saat Hasan masih belajar di Kota Nabi. Kiai Ahmad Sahal juga memandangi foto Masjid Jami’ yang dipasang di dinding kamarnya. Beliau tak dapat bangkit dari tempat tidurnya, karena akan bersiap menyambut kedatangan malaikat juru pati. Seakan-akan beliau dijemput untuk bertemu kehadirat Ilahi Rabbi.
Sebetulnya, beliau sangat rindu dengan anaknya, Hasan. Akan tetapi, Hasan muda masih berada di Mesir. Jarak antara Mesir-Jawa sangat jauh. Transportasi pun tak semudah dan secepat sekarang. Ingin rasanya beliau cepat bertemu, namun keadaan tak mengizinkan. Sudahlah. Malaikat juru pati sudah lama menunggu. Kiai Ahmad Sahal pun lantas berkata:
“Ora iso ndelok bocahe, tak ndelok kitabe!”
Tidak bisa melihat orangnya, aku lihat kitabnya saja!
Itulah ungkapan cinta dan rindu seorang ayah kepada putranya. Apa yang bersangkutan dengan anaknya, seperti kitabnya saja, itu sudah dianggap seperti orangnya. Dengan melihat kitabnya saja, sudah seperti melihat pemiliknya.
Tak lama, malaikat juru pati mendatangi Kiai Ahmad Sahal yang sudah siap bertemu Rabb-nya. Beliau diantar menuju singgasana yang telah disiapkan Tuhan bagi para kekasih-Nya.
السلام عليك يا سيدي ورحمة الله وبركاته
Salam sejahtera dan berkah Allah untukmu, wahai Junjunganku!
***
Diriwayatkan, Hasan muda akhirnya pulang ke Gontor. Rasa rindu bertemu jasad ayahnya pupus karena yang ia temui hanya nisannya. Kiai Ahmad Sahal sudah berada di dalam bumi, meski ruhnya sudah ada di sisi Allah.
Tak dapat dibayangkan rasa sedih dan pilu yang menimpa ayah dan anaknya yang sama-sama wali itu. Sang ayah ingin bertemu anaknya untuk terakhir kali, namun Allah sudah kadung rindu. Sang anak juga begitu. Ingin bertemu ayahnya, namun sudah terlambat.
Oleh karena itu, untuk memenuhi dan mengenang keinginan sang ayah, saat K.H. Hasan Abdullah Sahal menjadi imam shalat Jumat di Masjid Jami’ Gontor, beliau tidak pernah lupa mengenakan jubah dan ghutrah.
Kira-kira begitulah hikayatnya. Sebuah hikayat yang dikisahkan langsung oleh K.H. Hasan Abdullah Sahal saat perkumpulan guru KMI pada Kamis, 17 September 2020 di Aula Rabitah PMDG.
Oleh : Abdullah Nafi
Gontor, 3 Safar 1442/20 September 2020