Adapun kendala yang dihadapi ketika memasang lampu hias tersebut, menurut Dwi, seringnya terjadi korsleting, apabila satu lampu mengalami arus pendek, maka akan merambat ke semua lampu dan harus diulangi dari awal pemasangannya. “Untuk mengatasinya, kami memasang gabus yang dicairkan menggunakan air bensin di setiap ujung lampu,” tambahnya.
Dwi mengungkapkan, lampu-lampu tersebut dibeli di Surabaya, karena sangat sulit menemukannya di Ponorogo di samping harganya yang mahal. Sedangkan di Surabaya harga lebih murah dibandingkan di Ponorogo sendiri. Adapun dana yang dianggarkan untuk pembelian lampu-lampu hias tersebut adalah sebesar Rp 13,5 juta.
Karena pemasangan lampu hias tersebut sangatlah berdampak pada naiknya tagihan listrik pondok sekitar 25% dari bulan-bulan biasanya, lampu-lampu itu hanya dipasang ketika bulan Syawwal, Lomba Perkemahan Penggalang dan Penegak (LP3), dan Drama Arena (DA) ataupun Panggung Gembira (PG). Demi menghemat pengeluaran, Dwi Cahyono sempat berpesan kepada seluruh santri, agar mematikan dan menyalakan lampu tepat pada waktunya.