Bahasa adalah mahkota pondok, demikian kata-kata yang sering disampaikan penggerak bahasa di Gontor. Dalam istilah lain, language is our crown atau al-lughatu taaju-l-ma’hadi. Ibarat mahkota, bahasa menjadi simbol kehormatan dan kebanggaan Pondok Modern Darussalam Gontor. Maklum, Gontor memang dikenal sebagai pondok yang mengembangkan bahasa Arab dan bahasa Inggris secara konsisten. Sehingga, Gontor sering mendapat julukan laboratorium hidup untuk kedua bahasa asing tersebut.
Penerapan bahasa Arab dan Inggris di pondok ini tidak terlepas dari sejarah lahirnya Gontor. Saat itu Trimurti bercita-cita mencetak generasi yang tidak hanya pandai di bidang agama, tapi juga pandai di bidang keilmuan lainnya. Mereka bertiga menyadari kelemahan umat Islam pada waktu itu. Saat Indonesia diundang menghadiri Muktamar Islam Sedunia yang akan diselenggarakan di Makkah pada tahun 1926, tidak ada satu pun tokoh Islam negeri ini yang menguasai dua bahasa asing sekaligus dengan sama baiknya. Padahal, syarat keikutsertaan dalam agenda besar tersebut minimal pandai berbahasa Arab dan Inggris. Akhirnya, terpilihlah K.H. Mas Mansur yang pandai berbahasa Arab bersama H.O.S. Cokroaminoto yang menguasai bahasa Inggris untuk mewakili umat Islam Indonesia.
Dari sinilah, Trimurti bertekad membuat lembaga pendidikan yang mampu menghasilkan tokoh-tokoh dengan kedua kriteria itu. Bahasa Arab sebagai kunci untuk menguasai ilmu-ilmu keislaman dan bahasa Inggris menjadi sarana untuk memahami ilmu-ilmu umum atau sains. Dengan penguasaan kedua bahasa ini, Trimurti berharap alumni Gontor tidak hanya menjadi ulama yang tahu ilmu agama, tapi juga menguasai sains dan ilmu-ilmu lainnya. Dalam istilah lain, Gontor mampu mencetak ulama yang intelek bukan intelek yang tahu agama.
Sejak berdirinya, Gontor sudah mengajarkan kedua bahasa asing tersebut. Secara bertahap, bahasa Arab dan Inggris berkembang. Untuk menunjang perkembangannya, pengajaran di kelas menggunakan bahasa Arab dan Inggris, sesuai pelajarannya. Buku-buku materi berbahasa Arab tidak boleh diterjemahkan ke bahasa Indonesia, demikian pula buku-buku pelajaran bahasa Inggris. Kedua jenis pelajaran ini harus disampaikan menggunakan bahasa aslinya. Inilah yang disebut Gontor dengan thariqah mubasyirah.
Metode ini diterapkan sepenuhnya mulai kelas 2 KMI. Di kelas satu, beberapa pelajaran keislaman masih menggunakan bahasa Indonesia. Tapi, khusus untuk pelajaran bahasa Arab yang menggunakan buku “Durusu al-Lughah al-‘Arabiyah” karya K.H. Imam Zarkasyi dan H. Imam Syubani wajib disampaikan dengan bahasa Arab. Pelajaran bahasa Inggris juga demikian.
Di asrama, santri-santri harus menggunakan bahasa Arab atau Inggris dalam setiap percakapannya. Demikian pula dalam pergaulan mereka dengan santri-santri lain di luar asrama. Ada istilah minggu bahasa Arab dan minggu bahasa Inggris di Gontor, atau diistilahkan juga dalam bahasa Inggris dengan Arabic fortnight and English fortnight. Sedangkan dalam bahasa Arab diberi istilah al-usbu’ al-‘Araby wa al-usbu’ al-Injilizy.
Maksudnya, untuk penerapan kedua bahasa asing tersebut dalam percakapan santri-santri, Gontor menjadwalkannya secara teratur dalam dua mingguan, dua minggu khusus untuk bahasa Arab, dan kemudian berganti bahasa Inggris untuk dua minggu selanjutnya. Biasanya, pergantian bahasa itu berlangsung di hari Jum’at, tepat setelah Maghrib, saat pengumuman harian terkait kegiatan pondok atau santri dibacakan Bagian Penerangan Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM). Jika pengumuman itu berbahasa Arab, berarti mulai saat itu hingga dua minggu ke depan santri-santri wajib berbahasa Arab. Sebaliknya, jika pengumumannya berbahasa Inggris, berarti mereka telah memasuki minggu bahasa Inggris.
Peraturan ini berjalan dengan disiplin tinggi. Di asrama, santri-santri diawasi para pengurus dari kelas 5. Sedangkan kelas 6 selaku pengurus OPPM, khususnya Bagian Penggerak Bahasa Pusat atau lebih dikenal dengan istilah The Centre for Language Improvement (CLI) dalam bahasa Inggris dan Qismu Ihyȃi al-Lughah al-Markazy dalam istilah Arab-nya, mengawasi jalannya disiplin bahasa di asrama-asrama dan di kawasan pondok secara menyeluruh.
Mereka bertanggung jawab kepada Bagian Pembimbing Bahasa atau Qismu Haiati Isyrȃfi al-Lughah yang dipegang guru-guru pembimbing bahasa. Bagian Pembimbing Bahasa yang dikenal juga dengan istilah Language Advisory Council (LAC) ini mengawasi dan membimbing langsung jalannya disiplin bahasa kelas 6 secara khusus. Seluruh santri tidak diperbolehkan menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari mereka, apalagi bahasa daerah, termasuk santri-santri dari kelas 6.
Khusus santri baru, mereka diberi waktu tiga bulan masa percobaan untuk membiasakan diri berbahasa resmi pondok, sebelum benar-benar diwajibkan. Dalam tiga bulan pertama, santri baru masih ditoleransi menggunakan sedikit bahasa Indonesia dalam percakapannya sambil perlahan mempraktikkan bahasa Arab. Biasanya, secara bertahap dalam jangka waktu itu santri baru akan mampu bercakap-cakap ringan dengan bahasa Arab yang sering didengar dan dicontohkan guru di kelas atau kakak kelas 5 di asrama. Tiga bulan selanjutnya, ia sudah harus berhati-hati agar tidak sampai berbicara bahasa Indonesia sepatah kata pun juga. Disiplin bahasa sudah sepenuhnya harus dipatuhi memasuki bulan keempat mereka menjadi santri Gontor.
Pada enam bulan pertama itu, santri baru hanya mempraktikkan percakapan berbahasa Arab. Mereka belum terikat peraturan dua minggu bahasa Inggris. Selama setengah tahun, mereka dibiasakan berbahasa Arab dulu di asrama dan dalam pergaulan sesama santri baru. Barulah pada semester kedua, santri-santri baru mulai mengikuti peraturan berbahasa dwi-mingguan, bahasa Arab dan Inggris secara bergantian.
Setiap pagi, tepat setelah shalat Subuh dan membaca Al-Qur’an, bahasa santri akan diperkaya dengan kosakata baru. Pada waktu itu, setiap asrama diramaikan dengan suara-suara lantang para santri yang menirukan pengurus asrama melafalkan kosakata baru untuk mereka. Kosakata yang diberikan per hari itu seragam berasal dari Bagian Penggerak Bahasa Pusat. Tiap hari santri menerima tiga kosakata baru sesuai tingkatan kelas masing-masing. Santri dari kelas 1 tidak mendapatkan kosakata yang sama dengan santri dari kelas 2. Kosakata untuk kelas 3 juga berbeda dengan kosakata yang diberikan ke kelas 4. Hal yang sama juga berlaku untuk tingkatan kelas lainnya. Pemberian kosakata baru ini disesuaikan dengan minggu bahasanya. Jika hari itu termasuk ke dalam minggu bahasa Arab, maka kosakata yang diberikan kosakata bahasa Arab. Demikian pula sebaliknya.
Agar kosakata-kosakata tersebut melekat kuat dalam ingatan santri-santri, maka mereka diwajibkan menggunakan setiap kosakata untuk membuat tiga kalimat berbeda. Sehingga, minimal mereka mampu membuat sembilan kalimat dari ketiga kosakata baru. Kalimat-kalimat yang tertulis di buku khusus itu diserahkan kepada pengurus asrama dan dikoreksi setiap hari. Inilah yang menunjang perkembangan kemampuan mengarang santri menggunakan bahasa Arab atau Inggris, biasa disebut dengan istilah insya’ atau composition. Selain ditulis, kosakata baru tersebut juga dihapal santri-santri untuk digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Gontor juga menyelenggarakan berbagai macam kompetisi berbasis bahasa sebagai bagian dari program peningkatan bahasa Arab dan Inggris. Lomba drama berbahasa Arab dan Inggris antarasrama adalah salah satu contohnya. Drama bahasa Arab diadakan di awal tahun, sedangkan yang berbahasa Inggris dilaksanakan pada akhir tahun. Ada juga lomba pidato tiga bahasa: Indonesia, Arab, dan Inggris. Lomba ini bisa diikuti seluruh santri dari kelas 1 hingga kelas 5. Kelas 6 sudah bertindak sebagai panitia penyelenggara dan tidak terlibat lagi sebagai peserta. Setelah mengurus OPPM, mereka sudah harus fokus menghadapi ujian akhir.
Demikianlah pentingnya bahasa di Gontor, laksana mahkota bagi seorang raja. Ia akan menjadi kunci utama untuk memperdalam ilmu pengetahuan, baik selama di pondok ini maupun setelah berada di tempat lain. Selain itu, ada pepatah mengatakan bahwa orang yang mengetahui bahasa suatu kaum atau masyarakat suatu bangsa akan selamat dari tipu daya mereka. Man ‘arafa lughata qaumin, salima min makrihim.*elk