Kira-kira pukul 09.00 WIB, Pembawa Acara memulai perhelatan itu; Reuni Akbar Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor (PM Gontor/Gontor), dalam rangka Peringatan 90 Tahun usianya. Dengan kepiawaiannya, pembawa acara mengajak hadirin untuk memekikkan takbir berkali-kali. Anehnya, ajakan takbir pembawa acara, alumnus Gontor yang baru berusia 30 tahunan itu, disambut dengan gegap gempita dan kepalan tangan ke atas oleh 11.000 orang lebih alumni Gontor dari angkatan termuda hingga tertua 1950-an. Terserah. Apalah niatan takbir itu; namun yang terasa, mereka bersedia meneriakkan takbir untuk Gontor: Yang pasti, Gontor menjadi sedemikian karena Allahu Akbar!
Lalu, para alumni yang sebelumnya masih mengobrol mulai diam ketika ayat-ayat Suci Al-Qur’an dibacakan oleh alumnus Gontor juga. Selesai. Menginjak acara berikutnya, menyanyikan “Lagu Indonesia Raya”. Dengan sikap sempurna, lantang, dan gegap gempita, tampak, para alumni itu ingin menunjukkan nasionalismenya, nasionalisme yang diajarkan Gontor kepada mereka, yang tak perlu diragukan. Saya pun hanya tersenyum kecut mengingat Pangdam Jawa Timur yang meragukan kemampuan santri Gontor menyanyikan Lagu “Indonesia Raya”. Sungguh kebodohan karena kurangnya pengetahuan.
Selanjutnya, menyanyikan hymne “Oh Pondokku”. Ketika ini, masih dengan dengan sikap sempurna, keluarga besar PM Gontor itu menyanyi dengan penuh perasaan, kenangan, dan dengan semangat kegontoran. Ketika musik pengiring baru memainkan intro (pendahuluan), warna emosi para alumni itu berubah: bibirnya mulai bergetar emosional. Para alumni sepuh di barisan kursi terdepan, tampak memejamkan matanya rapat-rapat. Raut wajahnya yang keriput terlihat menyimpan sejuta rasa dan kenangan; kian tampak lagi saat baris demi baris dan bait demi bait dari lirik hymne itu terucapkan; tak terbendung: raut mukanya menjadi sebak; air matanya tidak hanya menitik tapi mengucur deras, namun dibiarkan, tanpa disekanya dengan sapu tangan. Yang tua, yang muda, alumni tahun 1950-an, 1960-an hingga alumni teranyar (2016), semua larut dalam getaran emosi yang sama, terasa pulang ke rumah Ibu Kandung: Pondok Modern Darussalam Gontor.
Beragam alasan air mata mengucur. Alumni senior, mungkin saja, merasa pilu, membayangkan para Trimurti itu tengah berdiri tegak di depannya, di panggung kehormatan, lantas berpidato dengan lantang, laksana singa tengah mengajari anaknya belajar berburu. Mereka merindukan kembali sentuhan, pendidikan, pengajaran, bahkan kemarahan sang kiai itu, seperti puluhan tahun silam saat masih muda. Tempaan itulah yang membuat para alumni tegar berjuang di masyarakat hingga sekarang, hingga usia senjanya. Tak kalah pilunya, saat mengenang guru-guru dan sahabat karib yang telah wafat, mendahului mereka. Air mata pun menjadi pertanda kesyukuran.
Alumni dekade 1970-an, ketika Pak Sahal dan Pak Zar masih hidup, akan mengenang bagaimana beliau berdua sering bertemu, berbincang di depan rumah Pak Zar, atau Pak Sahal yang acap menyeret kursi hingga ratusan meter untuk mengawasi bangunan dan pekerjanya. Bersyukur pula, mereka masih sempat diajar Pak Zar di kelas; mereka masih menyaksikan ledakan warna emosi Pak Sahal saat berpidato, atau pidato Pak Zar yang selalu sederhana namun sistematis, mudah dicerna, berisi prinsip-prinsip kepondokmodernan, terkadang berisi pandangannya terhadap fenomena kontemporer, baik nasional maupun mondial.
Sementara, alumni setelah tahun 1977 (usai Pak Sahal wafat), hanya sempat melihat Pak Zarkasyi, yang tegar berjuang sendiri, tetap mengajar di usia senja, meniti kelas demi kelas dengan langkah gontai, dan getaran bibir melafazhkan zikir. Jelas ada kerinduan diajar beliau seperti dulu. Betapa tidak, kepandaian, keterampilan hidup, dan kehormatan, serta kemampuan yang dimilikinya adalah hasil didikan beliau. Kenangan itu membuat air mata mengalir kian deras. Juga kenangan tentang bagaimana Pak Zar menata sistem Pondok Modern, terucap dalam pidato-pidatonya pada pertemuan guru-guru (Kemisan), sungguh tampak berat namun harus dilakukan, demi kelanjutan perjuangan, kelangsungan hidup pondok.
Adapun para alumni yang tak pernah meyaksikan seorang pun dari tiga pendiri pondok itu tetap memiliki banyak kenangan, pengalaman selama mondok. Bagaimana mereka memulai hidup di pondok dengan rasa tertekan, kemudian mulai belajar berorganisasi; menjadi pengurus asrama, menjadi pengurus OPPM, PBR, dan PBS. Sungguh, penuh dengan tekanan, gesekan, konflik, dan persaingan; namun juga sarat dengan pendidikan ukhuwwah, keikhlasan, tanggung jawab, kerjasama, dan sebagainya. Mereka digembleng oleh generasi penerus yang tak kalah semangatnya dengan Trimurti pendahulunya. Semua itu sanggup membuat mereka menangis. Ya, menyanyi sambil menangis, dengan kucuran air mata yang deras: air mata kenangan, air mata kerinduan.
Saya, yang bukan alumnus Gontor, “menikmati” suasana mengharukan itu, dan membiarkan air mata saya ikut meluncur di balik kaca mata. Ada kenikmatan nostalgik tersendiri demi ikut serta melantunkan dan mendengarkan lagu itu. Mungkin telah ratusan kali hymne itu terdengar di telinga, dari kecil sehingga dewasa. Dari itu pula kecintaan kami kepada pondok mulai terbina, yang dimulai dari rasa heran, kemudian rasa bangga, lantas cinta.
Tidak seperti pada pertemuan-pertemuan di tempat lain, usai menyanyikan hymne “Oh Pondokku”, para hadirin terdiam, melandaikan perasaannya yang baru saja teraduk-aduk saat melantunkan hymne itu. Sambil mengusap air mata dengan lengan baju atau sapu tangannya, mereka kembali duduk tafakkur, berzikir, dan berdo‘a untuk pondok, para pendiri, para kiai, para guru, dan murid-muridnya. Tidak ada yang bertanya, “Mengapa menangis?” Karena isi hati mereka sama. Sungguh, suasana yang amat sulit dilukiskan. Upaya untuk itu tak mungkin mewakili perasaan ribuan alumni yang hadir. Hymne itu laksana medan magnet yang memancarkan resonansi kepada pelantun dan pendengarnya. Siapapun yang berada di sana, hatinya akan ikut bergetar, hanyut dalam aliran rasa para alumni, pelantunnya. Rasanya, tak ada fanatisme kealumnian sekuat alumni Gontor. Oh, Pondokku… Ibuku. Nasrulloh Zainul Muttaqien