SURABAYA–Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) VIII Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor yang tengah melaksanakan serangkaian workshop di Kota Surabaya berkesempatan mengunjungi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur (Jatim). Silaturahim berlangsung pada hari Jum‘at (13/2) di Kantor Dewan Pimpinan MUI Jatim yang berlokasi di Jalan Dharma Husada Selatan, Surabaya. Dalam kesempatan ini, sebanyak 23 peserta PKU VIII dibekali pengetahuan mendalam tentang MUI dan program-programnya beserta peran dan fungsinya.
Pembekalan sesi pertama tentang MUI disampaikan Sekretaris Umum MUI Jatim, Drs. H. Imam Tabroni, M.M. Dalam penjelasannya, ia menyampaikan pentingnya keberadaan MUI sebagai wadah tempat berkumpulnya para ulama, zu‘ama, dan cendekiawan muslim untuk bermusyawarah atau bertukar pikiran guna menyelesaikan berbagai permasalahan umat.
Lebih lanjut, H. Imam Tabroni mengisahkan sejarah berdirinya MUI. Sebelum lahirnya MUI di Indonesia secara resmi pada tanggal 26 Juli 1975, telah ada lembaga sejenis majelis ulama di beberapa daerah Nusantara. Salah satunya Majelis Ulama (MU) di Jawa Barat yang didirikan pada tanggal 12 Juli 1958. Sekitar tahun 1966 juga berdiri MU di Sumatera Barat yang diketuai Datuk Palimo Kajo. Di Aceh juga ada MU yang dipimpin oleh Datuk Beureuh pada kisaran tahun 1967. Sulawesi Selatan pun membentuk lembaga sejenis pada tahun 1970-an di bawah koordinasi Panglima Militer Sulawesi Selatan.
Tidak hanya di daerah-daerah tersebut, pemerintah pusat pun mendirikan MU, kira-kira pada tahun 1958, untuk mengadakan pembinaan dan pengendalian kegiatan umat Islam. Peran MU Pusat masih sebatas mencari dukungan dari ulama atas langkah dan kebijakan pemerintah. Ketuanya adalah K.H. Fatah Yasin selaku Menteri Penghubung Alim Ulama. Ketika itu, pengurus MU Pusat terdiri dari perwakilan-perwakilan organisasi massa (ormas) dan lembaga-lembaga tertentu, seperti K.H. Wahab Hasbullah yang mewakili Nahdlatul Ulama (NU), Prof. Farid Ma‘ruf mewakili Departemen Agama (Depag), K.H. Idham Chalid sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), dan Aruji Kuta Winata sebagai perwakilan dari parlemen saat itu.
“Pada tahun 1975, barulah Presiden Soeharto meminta majelis ulama dibentuk secara nasional, hingga akhirnya MUI berdiri secara resmi pada tanggal 26 Juli 1975,” ungkap H. Imam Tabroni.
Piagam berdirinya MUI pada tahun 1975 tersebut, lanjut H. Imam Tabroni, ditandatangani oleh ketua-ketua dari 26 Majelis Ulama Daerah Tingkat I se-Indonesia yang telah terbentuk sebelum adanya MUI Pusat. Selain itu, piagam bersejarah itu juga dibubuhi tanda tangan dari 10 orang ulama dari beragam organisasi Islam tingkat pusat. Mereka adalah K.H. Moh. Dahlan (NU), Ir. H. Basit Wahid (Muhammadiyah), H. Syafi‘i Wirakusumah (Syarikat Islam), H. Nurhasan Ibnu Hajar (Perti), Anas Tanjung (Al-Washliyah), K.H. Saleh Su‘aidi (Mathla‘ul Anwar), K.H. Qudratullah (Guppi), H. Sukarsono (PTDI), K.H. Hasyim Adnan (DMI), dan H. Zainal Arifin Abbas (Al-Ittihadiyah). Kehadiran mereka dilengkapi empat ulama dari Dinas Rohani Angkatan Darat (AD), Angkatan Udara (AU), Angkatan Laut (AL), dan Polisi Republik Indonesia (Polri), serta 13 orang ulama independen. Selanjutnya, pertemuan para ulama ini ditetapkan sebagai Musyawarah Nasional (Munas) pertama MUI.
Menurut H. Imam Tabroni, secara garis besar, MUI didirikan bertujuan untuk menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan Islam. Sehingga, terwujudlah masyarakat yang berkualitas (khaira ummah) dan negara yang aman, damai, adil, dan makmur secara rohani maupun jasmani serta diridai Allah Swt (baldatun ṭayyibatun wa rabbun ghafūr).
Untuk mencapai tujuan tersebut, MUI berupaya memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam. Selain itu, MUI juga berusaha merumuskan kebijakan penyelenggaraan dakwah Islam, amar ma‘ruf dan nahi munkar. Lebih dari itu, MUI memberikan peringatan, nasihat, dan fatwa terkait masalah keagamaan dan kemasyarakatan dengan bijak kepada pemerintah dan masyarakat. Tidak hanya itu, MUI juga berupaya mewujudkan ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antarumat beragama, serta menjadi penghubung antara ulama dan umara’ (‘pemerintah’). Masih banyak lagi program-program MUI yang semuanya dilakukan untuk kepentingan umat.
Pada sesi selanjutnya, para peserta PKU VIII dibekali pengetahuan tentang bahaya komunisme dan komunis. Materi ini disampaikan oleh H. A. Rachman Aziz, Ketua MUI Jatim Bidang Informatika dan Komunikasi (Infokom). Menurutnya, hal ini harus disadari para ulama karena banyak orang yang berpikiran bahwa komunisme dan komunis di negeri ini sudah lenyap. Padahal, mereka masih berkeliaran di mana-mana, mencoba menyusupi masyarakat dengan paham menyesatkan itu. Maka, umat harus segera dibentengi dari paham yang membahayakan keimanan tersebut.
Sesi lainnya disampaikan oleh M. Yunus, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) Jatim. Ia memberikan gambaran kekompakan pergerakan ormas-ormas yang tergabung dalam GUIB di bawah naungan MUI Jatim, terutama dalam menangani berbagai penyimpangan keagamaan dan penyesatan umat Islam di Jatim. Dengan bersatunya puluhan organisasi keagamaan berbasis massa dalam GUIB, berbagai aliran sesat pun dapat ditumpas dengan mudah, termasuk dalam upaya membersihkan daerah-daerah Jatim dari berbagai tempat maksiat.
Pemaparan yang disampaikan MUI Jatim dalam beberapa sesi ini sangat berguna bagi para peserta PKU VIII. Mereka telah mendapatkan peta perjuangan di masyarakat kelak. Permasalahan umat memang semakin kompleks dan tantangan Islam ke depan semakin besar. Islam diserang dari berbagai arah. Karena itulah, kader-kader ulama seperti mereka sangat diharapkan MUI untuk berdiri di barisan paling depan membela Islam dan memperjuangkan agama ini menuju kejayaannya.*elk