Kunjungan seorang muballigh tersohor di nusantara, Al-Ustadz H. Abdul Somad, Lc., M.A. ke Gontor pada hari Sabtu hingga Ahad tanggal 23-24 November 2019 kemarin merupakan kunjungan yang memberikan banyak sekali kesan bagi keluarga besar Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG). Baik itu Bapak Pimpinan Pondok, para asatidz, bahkan hingga para santri mendapatkan banyak sekali nutrisi ilmu dan pengalaman baru yang dapat dijadikan bekal tambahan untuk pembelajaran berharga. Berikut adalah sedikit ulasan dari beberapa tausiyah beliau selama berkunjung ke PMDG di kampus pusat.
Yang pertama, adalah tentang bagaimana adab menuntut ilmu. Meskipun itu tidak beliau ungkapkan secara transparan dalam tausiyahnya, namun ciri-cirinya tampak jelas dari beberapa pesan yang beliau sampaikan serta dari bagaimana beliau bersikap. Gerak-gerik beliau yang selalu takzim kepada kiai menggambarkan betapa semakin berilmu seseorang, semakin rendah hatilah ia dan semakin hormat kepada gurunya. “Duduk dengan orang alim sesaat sama dengan membaca buku seluruh maktabah. Diamnya adalah hikmah, dan bicaranya pun juga hikmah” begitulah yang beliau sampaikan saat bertausiyah di depan para guru dan santri PMDG pada Sabtu malam.
Kunjungan beliau bukanlah karena tujuan kepentingan golongan tertentu, bahkan disebutkan bukan pula karena tujuan politik atau yang lainnya, namun lebih kepada bersilaturahim dengan guru-guru dan kiai, meminta doa dari para kiai atau beliau sebut dengan barakatul masyayikh, dan tentunya untuk mengambil ilmu dan pelajaran. Bahkan beliau mengatakan bahwa salah satu yang dapat menyelamatkan kita di hari kiamat nanti adalah cinta kepada kiai.
Selain menceritakan tentang berbagai hal yang harus dijaga oleh seorang penuntut ilmu, tausiyah beliau pada Sabtu malam tersebut banyak pula menceritakan tentang kisah perjuangan beliau ketika masih santri dulu, walaupun belum diberi kesempatan untuk nyantri langsung di PMDG. “Ketika mendekati pintu masjid, saya tidak melihat anak-anak Gontor, tapi saya melihat diri saya 26 tahun yang lalu” ujar beliau. Bagaimana suasana latihan pidato yang selalu diawasi oleh mudabbir kelas lima, juga tentang disiplin berbahasa, dan masih banyak lainnya yang terlintas kembali di benak beliau. Karena itulah beliau mengungkapkan bahwa beliau merasa tidak sedang menyampaikan tausiyah seperti biasanya, namun lebih ke berbagi pengalaman dengan para hadirin di sana sebagai sesama santri. “Saya tidak merasa seperti seorang guru di tengah murid, tapi seorang murid yang sama seperti murid-murid lainnya, hanya saja diberi sedikit kemuliaan untuk berbicara di depan sini” kata beliau di depan Bapak Pimpinan dan seluruh keluarga besar PMDG.
Yang kedua, adalah tentang bagaimana peran dan posisi santri sebagai Khairu Ummah. Sesuai dengan tema Tabligh Akbar yang dilaksanakan pada hari Ahad setelah shalat shubuh berjamaah di depan Masjid Jami’ PMDG, beliau menekankan tentang betapa besarnya peran dan pengaruh santri sebagai generasi Khairu Ummah yang dirumuskan dalam tiga aspek; ta’muruuna bil ma’ruuf, tanhauna ‘anil munkar, dan tu’minuuna billaah. Beliau pun pada pembukaannya turut menjelaskan tentang santri itu sendiri. Nama ‘santri’ tidak hanya sesuai untuk menggambarkan para pelajar di pondok-pondok pesantren yang ada di Indonesia saja, namun santri bahkan sudah ada sejak zaman Rasulullaah SAW dulu. “Substansi makna santri tidak hanya ada di Indonesia saja, tapi juga ada pada shahabah. Bahkan Rasulullaah SAW dulu adalah pesantrennya. Ada kiainya, ada santrinya (para shahabah), ada kitabnya (wahyun yuuhaa), ada tempatnya, ada pula sistemnya” jelas beliau.
Dalam ta’muruuna bil ma’ruf, beliau menyampaikan bahwa ada alasan tertentu kenapa kebaikan tidak digambarkan dengan kata jayyid atau khair, namun menggunakan kata ma’ruf. “Ma’ruf itu Al-iimaanu billaahi wa birasuulihi wal ‘amal bisyaraai’ihi”ujar beliau. Kebaikan dalam Islam ukurannya adalah aqidah, dan bicara aqidah tidak ada tawar-menawar. Karena itulah beliau tekankan bahwa perintah dalam Al-Qur’an bukanlah ta’muru bil jayyid ataupun ta’muru bil khair, sebab berbuat baik saja tidak cukup untuk menjadi Khairu Ummah. Harus kebaikan yang berdasarkan atas aqidah, berlandaskan iman, dan diwujudkan dengan perbuatan yang nyata. Dan santri, sahut beliau, dengan multitalenta dan kesungguhannya mampu mewujudkan kebaikan untuk ta’muru bil ma’ruf tidak hanya melalui ceramah di belakang mimbar saja, tapi juga melalui berdakwah dengan kebaikan apapun. Contohnya melalui profesi dokter bagi masyarakat yang sangat membutuhkan penanganan kesehatan, ataupun masih banyak lagi jalan berdakwah kebaikan lainnya.
Sedangkan untuk tanhauna ‘anil munkar, beliau menyampaikan bahwa setiap kali kita menemukan kesalahan atau kemungkaran, kita tidak boleh membiarkannya bahkan harus menyuarakan kebenaran dengan berani. Dan semangat itu, jelas beliau, terdapat pula pada para santri karena pendidikan sejak di pesantren mengharuskan mereka untuk demikian. “Santri tidak boleh diam melihat kemungkaran, melihat kesalahan. Harus diluruskan” tukas beliau. Dan cara mencegah kemungkaran ala santri tidak seperti preman, tapi konstitusional, melalui parlemen, sesuai prosedur dan taat peraturan.
Kemudian yang terakhir yaitu tu’minuuna billaah, kata beliau, memiliki keistimewaan tersendiri bahwa ia ditempatkan terakhir. “Meskipun iman dan aqidah harus nomor satu dalam setiap perbuatan kita, namun kenapa dalam ayat ini ditempatkan di akhir adalah untuk menekankan bahwa iman kita harus selalu dijaga bahkan sampai akhir kehidupan kita. Alladziina qaaluu rabbunallaahu tsummastaqaamuu tatanazzalu ‘alaihimul malaaikatu allaa takhaafuu walaa tahzanuu,” begitulah yang beliau sampaikan. Ketika iman kita mampu kita istiqamahkan, atau beliau sebut dengan iman yang nyata, maka ejekan cacian tidak akan membuat kita tumbang, dan pujian pun tidak membuat kita takabbur. Bahkan keimanan tersebut mampu mengusir cemas dan sedih kita, sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Qur’an. Dan pada akhirnya, keimanan itu pulalah yang dapat membawa kita menuju husnul khaatimah. zahrul