Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari suku bangsa dan budaya yang beraneka ragam. Namun, perbedaan tersebut tidak menjadikan rakyatnya terpecah-belah lagi berselisih. Perbedaan tersebut justru menjadi jembatan bagi mereka untuk saling bahu-membahu, menyatukan langkah untuk bersama mengusir para penjajah dari tanah air. Dari situlah kemudian lahir sebuah ungkapan yang kita kenal hingga saat ini, yaitu “Bhineka Tunggal Ika”.
Bhineka Tunggal Ika, yang berarti “Berbeda-beda tetap satu jua” akhirnya menjadi semboyan yang menghapuskan jurang pemisah antarindividu. Meski dengan banyaknya perbedaan antara mereka, selama mereka menuju satu tujuan yang sama, mereka dapat saling melengkapi demi menyokong kesuksesan.
Nilai tersebut dapat kita temukan implementasinya di Gontor. Para santri yang berdatangan dari berbagai daerah; mulai dari sekitar Jawa Timur hingga luar negeri, semuanya berkumpul di satu tempat. Dengan kultur setiap daerah yang sangat beragam, tentu tidak mudah untuk dapat membangun hubungan yang baik di antara para santri.
Namun itulah uniknya di Gontor. Meski dengan latar belakang yang berbeda-beda, mereka tetap dapat berinteraksi dengan akrab serta membangun hubungan layaknya seorang saudara. Tidak ada yang mempermasalahkan suku, budaya, ataupun adat daerah masing-masing. Semua karena desain pendidikan Gontor yang sedemikian rupa dalam membentuk karakter para santrinya.
Di Gontor, para santri selalu dipertemukan dengan teman-temannya di dalam satu medan yang sama. Baik itu di kelas, di rayon, serta di berbagai medan lainnya, mereka selalu berinteraksi dengan teman-teman dari berbagai suku bangsa. Hal ini dapat memupuk rasa kebersamaan di dalam diri mereka, di mana mereka dituntut untuk dapat bekerja sama dengan kawannya. Bahkan dalam tingkatan yang lebih tinggi, mereka ditugaskan untuk memimpin kawannya serta menyelesaikan berbagai macam masalah bersama-sama.
Dengan adanya rasa kebersamaan yang tumbuh di dalam diri mereka, mereka pun belajar untuk saling bertoleransi. Tidak menang sendiri, menurunkan rasa ego, serta mementingkan kepentingan bersama. Adanya proses inilah, yang apabila dibarengi dengan rasa kebersamaan yang begitu erat, akan semakin menumbuhkan toleransi yang tinggi.
Pimpinan PMDG, Drs. K.H. M. Akrim Mariyat, Dipl.A.Ed. pernah berpesan kepada para santri ketika menyampaikan nasihatnya, “ketika ditanya ‘di mana ada Bhineka Tunggal Ika’, maka jawabannya di pondok kita ada. Berbagai macam suku serta daerah, di pondok semuanya satu kamar, satu rayon, dan satu kelas. Ada toleransi yang sangat kuat di antara para santri.” Begitulah jelas beliau.
Bahkan di dalam Apel Tahunan Khutbatu-l-‘Arsy, penampilan tarian serta kebudayaan khas daerah selalu ditampilkan setiap tahunnya. Para santri dan guru yang tergabung dari berbagai daerah di Indonesia, bersama menyaksikan pertunjukan seni dari berbagai suku maupun bangsa. Hal ini selain mengajarkan kebersamaan dan toleransi, juga mengajak para santri dan guru untuk bisa menikmati kesenian yang disajikan. Inilah perwujudan yang sangat nyata dari semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, yang selalu diajarkan oleh Gontor kepada para santri dan guru.zahrulmuhsinin
Related Articles:
Perjuangan Santri dan Pesantren; Refleksi Nilai Sumpah Pemuda
Aneka Ria Nusantara: Lestarikan Nilai Luhur Budaya Bangsa Indonesia melalui Pementasan Seni Daerah