Hotel Monterey Kobe
Dari Masjid Kobe, kami diinapkan di sebuah hotel baru, Hotel Monterey Kobe, namun didesain klasik model Spanyol, mulai dari arsitek, taman, hingga kamar, semuanya bernuansa Spanyol. Selepas Maghrib kami berjalan-jalan menikmati keindahan malam Kota Kobe. Jalanan dan pertokoan sangat ramai dikunjungi orang, maklum hari itu adalah malam Sabtu, waktunya masyarakat Kobe untuk bersantai setelah bekerja keras 5 hari di kantor. Guide membawa kami ke sebuah mal bawah tanah. Teman-teman bisa berbelanja oleh-oleh sekaligus mendapat banyak pilihan restoran untuk makan malam. Selesai makan malam, kami kembali ke Hotel Monterey untuk segera beristirahat, karena paginya sudah harus berangkat ke Hiroshima dengan Shinkansen.
Home Stay di Hiroshima
Setelah makan pagi di restoran hotel, kami bersiap-siap ke stasiun Kobe naik Shinkansen ke Hiroshima. Perjalanan hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam. Setiba di Hiroshima, kami menuju Royal Hotel untuk bertemu dengan keluarga home stay. Pukul 13.30 kami semua sudah berkumpul di lobi hotel. Beberapa saat kemudian, datang seorang bapak mencari anggota delegasi yang akan diajak ke rumahnya. Demikian satu demi satu mereka berdatangan dan kami berpisah menuju lokasi rumah yang berbeda-beda di wilayah Hiroshima.
Saya sendiri dijemput seorang ibu, berusia sekitar 64 tahun, mempunyai dua orang anak dan dua orang cucu yang semuanya tinggal di Tokyo. Beliau adalah Ibu Midari, tinggal di sebuah kota pelabuhan kecil bernama Kure dengan suaminya, Tuan Ishamo. Saya diajak ke rumah beliau yang berlokasi di perbukitan tinggi. Suhu udara di daerah perbukitan ini lebih dingin dibanding Kobe atau Kota Hiroshima.
Saya diberi sebuah kamar di lantai bawah yang cukup luas, sepertinya juga berfungsi untuk menerima tamu lesehan. Rumahnya tidak luas, namun bersih, dan penataannya cukup artistik. Ada jendela kaca transparan menghadap halaman dan sisi lainnya disekat kayu. Tersedia pula meja kayu persegi di atas lantai serta beberapa almari dinding untuk menyimpan peralatan tidur. Baru saja kami memasuki rumah, sudah ada seorang ibu lainnya yang datang sambil membawa makanan. Tampaknya, ia adalah tetangga Ibu Midari yang sudah mendapat kabar akan adanya tamu Indonesia yang ikut program home stay. Kami berkenalan dan beliau menyatakan kegembiraannya. Ternyata profil pondok yang lengkap dengan foto kegiatannya, termasuk foto keluarga yang saya bawa bisa menjadi sarana efektif untuk berkomunikasi.
Pada hari Ahad, 27 Oktober 2013, Tuan Ishamo bersama Ibu Midari sudah menyiapkan acara istimewa untuk saya. Beliau mengajak saya naik mobil keluarga melintasi pulau-pulau kecil, menembus jembatan yang menghubungkan antarpulau di wilayah Hiroshima selatan. Setiap kali melewati panorama yang indah, kami turun beberapa saat untuk berfoto dan menikmati indahnya panorama. Kebun-kebun buah yang sedang berbuah ranum kami lewati, tebing-tebing terjal di sisi pantai kami lalui. Banyak para biker menikmati keindahan panorama alam dengan bersepeda balap. Resort dan hotel-hotel di tepian pantai juga bertebaran.
Setelah melewati dua pulau kacil, kami tiba di sebuah kota pelabuhan dengan mercusuar mininya. Konon, pelabuhan ini sangat ramai dan banyak pelaut yang menginap beberapa hari di perumahan-perumahan penduduk di pulau ini, tapi saat ini sudah sepi dan tinggal para nelayan lokal yang mempunyai kapal-kapal ikan di pelabuhan.
Kemudian kami mengunjungi lokasi wisata di sebuah pantai berpasir putih yang hari itu masih sepi. Biasanya ramai dikunjungi di hari-hari libur dan akhirnya kami memilih sebuah restoran kecil menghadap ke laut untuk makan siang. Lalu kami menyempatkan diri masuk ke museum kapal selam. Menurut informasi yang dapat, di masa Perang Dunia I dan II, Kota Kure menjadi pelabuhan militer Jepang yang sangat penting dan strategis.
Pada Senin pagi, 28 Oktober 2013, kami berangkat ke Hisroshima untuk bertemu dengan teman-teman yang lain di Taman Perdamaian Hiroshima. Sepanjang perjalanan menuju Taman Perdamaian, saya sangat menikmati keindahan alamnya. Selain indah, juga tertata rapi dan bersih. Rute yang kami lalui kebetulan di pinggir pantai. Beberapa kali bus yang kami tumpangi memasuki terowongan yang memang cukup banyak di Jepang. Memasuki Kota Hiroshima, kami melintasi jembatan panjang di atas Selat Hiroshima. Tampak sekali pabrik-pabrik besar di pinggiran pantai Hiroshima, seolah tidak ada bekas yang menunjukkan kota ini pernah diluluhlantakkan bom atom.
Pada jam 9 pagi, kami sudah sampai di Taman Perdamaian Hiroshima, lokasi bekas dijatuhkannya bom atom pada 6 Agustus 1945 lalu. Teman-teman juga mulai berdatangan, sehingga tepat pukul 09.30 kami sudah lengkap berkumpul kembali. Setelah berfoto bersama dengan keluarga home stay, kami berpamitan dan mengucapkan banyak terima kasih atas segala kemudahan dan bantuan yang diberikan kepada kami selama program home stay.
Kami menelusuri Taman Perdamaian dari ujung barat, menyaksikan gedung bekas reruntuhan serangan bom yang masih diabadikan, menelusuri pinggiran sungai yang dahulu berisi puluhan ribu jasad manusia yang tidak bernyawa, hingga akhirnya ke museum. Di museum, kami melihat gambar-gambar yang menyedihkan, keadaan Hiroshima sebelum dan sesudah pengeboman, efek kerusakan dan korban yang ditimbulkan, serta film singkat bagaimana proses letusan bom atom.
Di akhir kunjungan, kami sempat bertemu dengan salah seorang ibu yang menjadi saksi mata letusan bom atom, umurnya sudah lebih dari 80 tahun. Konon, dia sudah melakukan operasi plastik sebanyak 15 kali untuk menyembuhkan luka-luka akibat radiasi bom. Beliau bercerita dengan nada suara penuh kesedihan dan ratapan, seolah-oleh mengajak kami ikut merasakan saat-saat bom meletus.
“Saat itu 6 Agustus 1945, udara cerah dan matahari terasa panas menyengat. Tidak ada bunyi sirine yang kami dengar, yang berarti kami dalam situasi aman dari serangan udara. Anak-anak sekolah sedang dimobilisir ke pabrik-pabrik. Hiroshima dijadikan sebagai pabrik industri senjata bagi Jepang. Tiba-tiba ada ledakan dahsyat. Bola api berbentuk cendawan membubung ke langit, suhu udara mencapai 3000 derajat, semua yang dilalui terbakar habis, angin sangat kencang, sehingga bola mata manusia akan terlepas. Bangunan kayu pun kalau tidak terbakar pasti habis disapu angin. Banyak orang menceburkan diri ke sungai karena kepanasan, padahal sungai sudah terkena radiasi, dalam waktu singkat, 60 ribu nyawa melayang dan setiap hari terus bertambah hingga mencapai 140 ribu jiwa. Hujan turun beberapa hari kemudian, tetapi airnya hitam dan mengandung racun. Sumur-sumur penduduk tercemari radiasi yang selama puluhan tahun kemudian mengakibatkan berbagai macam penyakit yang tidak bisa disembuhkan.” Demikian sepotong kisah ibu yang manjadi saksi kekejaman bom atom di Hiroshima.
Setelah kunjungan ke Hiroshima, kami makan siang dan menuju stasiun kereta super ekspres Shinkansen menuju Tokyo kembali. Kali ini perjalanan kami cukup jauh, bahkan yang terjauh dibanding ketika kami naik Shinkansen ke Kyoto pertama kali. Lebih dari empat jam kami butuhkan untuk kembali ke Tokyo dari Hiroshima, padahal kecepatan kereta antara 270–300 km/jam. Kami berharap bisa menyaksikan Gunung Fujiyama di sebelah kiri dari kereta Shinkansen, tapi tampaknya kami kurang beruntung, selain cuaca yang mendung, waktunya juga sudah menjelang malam saat kami menjelang Tokyo.
Kemudian, diantar bus, kami menuju Tokyo Prince Hotel, seperti saat kami baru datang ke Jepang. Kali ini kami akan menginap lebih lama di hotel ini karena sisa waktu yang masih tiga hari akan kami habiskan di Tokyo, dua hari untuk kunjungan dan hari ketiga untuk keberangkatan menuju tanah air tercinta.