Mari kita syukuri bahwa keikhlasan para kyai dan guru masih cukup tinggi, dibandingkan dengan para guru di lembaga-lembaga pendidikan atau pondok pesantren di luar Gontor. Para santri ikhlas diarahkan, diawasi, diajari, dievaluasi, dikritik, dan dihukum. Para guru ikhlas mengarahkan, ikhlas mengawasi, ikhlas mengajar, mengevaluasi, mengkritik, dan menghukum. Guru-guru di Gontor tidak dibayar. Inilah cara Gontor untuk menanamkan jiwa keikhlasan. Trimurti mengikhlaskan tanah warisan kepada umat, dikala miskin. Santri dan guru hidup berdampingan dalam satu komplek pesantren. Saling membantu, bekerja sama. Begitulah Gontor hidup selama Sembilan puluh tahun. SPP tidak digunakan untuk membayar guru. SPP digunakan untuk membiayai listrik, membeli meja dan bangku, membangun ruang kelas. Tidak sepeserpun untuk membayar para guru.
Pada masa kepemimpinan Trimurti, seorang santri yang mendapat tugas mengajar oleh kyianya atau mendapat lowongan mengajar di suatu madrasah, mereka amat sangat senang walaupun tanpa imbalan. Guru-guru yang sangat ikhlas mengajar di Gontor, seperti: K.H. Shoiman Lukmanul Hakim, K.H. Imam Badri, K.H. Ibrahim Thoyyib, Ust. Hasuna, Ust. Sirman Nur Salim dan lain sebagainya, telah mengajar di Gontor selama bertahun-tahun bersama Trimurti dengan istiqomah tanpa mengharap imbalan apapun. Selain di Gontor, mereka juga membina dan mengajar di madrasah-madrasah sore (sekolah arab) di daerah masing-masing juga tidak mengharap imbalan apapun.
K.H. Shoiman Lukmanul Hakim, K.H. Imam Badri, K.H. Ibrahim Thoyyib, Ust. Imam Subani sebelum mengajar di Gontor, adalah alumni PP. Tegal Sari. Walaupun tak mendapat ihsan yang banyak, mereka tetap ikhlas mengajar sampai akhir hayat. Tetapi Gontor tidak pernah membiarkan guru-gurunya tanpa kesejahteraan, oleh karena itu pada tahun 1960 telah dibangun Perdos (Perumahan Dosen) di belakang gedung Saudi. Ada empat buah rumah, sehingga dapat tinggal dan membantu Trimurti dalam membina santri dan guru selama 24 jam. Namun, kesejahteraan mereka tetap terbatas, dengan penuh keyakinan, kehidupan mereka tetap dijamin oleh Allah. Keikhlasan yang menjiwai para guru tersebut membuat kemajuan Gontor hingga saat ini.
Pada guru dengan segala keterbatasannya tetap dalam suasana keakraban dan keikhlasan. Dengan buku-buku dan munjid yang hargannya mahal, mereka tetap mengajar dengan penuh kesungguhan, tak pernah putus asa. Istilah malaikatan menjadi jiwa perjuangan mendidik para santri yang akan datang dari segala penjuru dunia, yaitu ikhlas tanpa mengharap imbalan sedikit pun. Kalaupun ada imbalan/ihsan, itu menjadi hal yang tabu bagi nilai perjuangan pendidikan mereka.
Semua keikhlasan terjalin karena kesederhanaan dalam hidup. Semua guru terbiasa dengan hidup yang sederhana yaitu hidup secara wajar. Apa yang dimiliki, semuannya disyukuri dan digunakan semaksimal mungkin.
Sekarang, seberapa besar keikhlasan kita, selama berjuang di pondok ini? Perlu dipertanyakan. Apakah sebanding dengan keikhlasan para Trimurti dan para pendahulu yang lain. Di tengah segala keterbatasan, mereka begitu ikhlas mengajar dan bertugas. Mewakafkan pondok di dalam keadaan yang kekurangan, adalah contoh keikhlasan yang sangat luar biasa. Sebagai generasi penerus, kita harus mengikuti keikhlasan Trimurti dalam membangun pondok ini.
Begitulah keikhlasan yang dicontohkan oleh para Trimurti dan Guru-guru Gontor Lainnya. Kita harus tahu dan ingat untuk selalu mewarisi jiwa keikhlasan, kemandirian serta kesederhanaan Trimurti dalam membangun dan membantu pondok dalam setiap aspek kegiatan dan kehidupannya.*aff
Dikutip dari buku Embun Keikhlasan, Hal. 1-3