Gontor – sering dalam beberapa kesempatan – guru-guru kami menyebut sebagai kawah condrodimuko, tempat dibentuknya Gatot Koco menjadi kasatria pilih tanding, tempat ditempanya jiwa dan raga, sehingga setelah keluar dari kawah tersebut ia menjadi digdaya. Dalam proses pembentukan itu; bertemulah jiwa yang membentuk dan jiwa yang dibentuk; jiwa guru dan jiwa murid. Pertemuan jiwa ini satu hal yang sangat mendasar dalam model pendidikan Gontor. Pertemuan yang dalam bahasa Gontor menjadi ‘guru ihlas mendidik, siswa ihlas dididik’. Jika tali jiwa ini telah tersambung, maka proses pembentukan jiwa itu baru akan berjalan efektif.
Ihlas – dalam perspektif guru – adalah ketulusan untuk memberi, pengosongan dari segala jenis kepentingan dan interes duniawi dan yang material. Rumusan seorang guru di Gontor adalah ‘live to give’ sebagaimana yang dituturkan oleh KH Hasan Abdullah Sahal (pimpinan dan pengasuh pondok Modern Gontor) ‘di Gontor yang ada adalah; “to give, to give and to give!” bukan give to take, atau take and give, give to take itu mengandung interest tertentu, filosofi politik, take and give adalah filosofi dagang!’ keduanya jauh dari makna ihlas; ihlas dalam perspektif ini adalah kosong dari kepentingan selain Allah, ‘it was between us and God’ harus menjadi satu tali yang mengikat setiap kali seorang guru Gontor melaksanakan kewajiban dan tugasnya.
Jika sang pembentuk (guru) menyimpan di dalam jiwanya potensi ihlas itu; maka yang lahir dari apa yang dikerjakan saat ia mengajar santrinya adalah ‘ungkapan cinta’; marahnya, menghukumnya, menjelaskan-menerangkanya, memerintah-menyuruhnya adalah serangkaian usaha untuk membawa siswanya menjadi qurrata a’yun wa lil muttaqina imama; dengan potensi ihlas itu; segenap usahanya dalam pembinaan santri adalah lukisan indah di jiwa santri-santrinya yang akan mereka kenang sepanjang hayat mereka.
Almarhum KH Imam Zarkasy (salah satu trimurti pendiri Pondok Modern Gontor) misalnya – setiap kali memarahi santrinya dengan kemarahan habis-habisan, melakukan sholat dan menangis; lalu mendoakan kebaikan bagi hidup siswa tersebut. Begitu juga saat beliau hendak mengusir santrinya yang melanggar; menetes air mata beliau sebelum tinta pulpen-nya menggoreskan tanda tangan di atas kertas keterangan pengusiran santri itu. Tidak ada dendam bagi kesalahan yang dilakukan santrinya, setiap tindakan hukuman dan teguran adalah demi kemaslahatan santri itu sendiri. Karena ihlas itulah, maka santri-santrinya yang pernah dimarahi, yang pernah dihukum, menerima dengan hati lapang, bahkan bersyukur atas apa yang mereka terima, sebab itulah ungkapan cinta, perhatian, dan kasih sayang seorang guru kepada mereka.
Sementara ihlas – dalam perspektif santri – adalah; kerelaan hati untuk dididik dan diajar, kepercayaan total, loyalitas tanpa tepi kepada guru yang mendidik dan mengajarinya. Hal-hal itulah yang akan membuka hatinya, telinga dan matanya untuk menyerap sebanyak mungkin kebaikan dan nilai-nilai yang diajarkan gurunya. Ihlas diajar dan dididik, dalam bahasa Ali bin Abi Thalib adalah; “man ‘allamani harfan sirtu lahu ‘abdan” kalimat ini adalah azzam dalam jiwa seorang santri untuk taat dan patuh kepada gurunya; kebulatan tekad untuk menyerap sebanyak mungkin ajaran, dididikan, dan arahan atau apa saja yang diinginkan gurunya untuk ia kerjakan tanpa tanda tanya.
KH Kholil Bangkalan – misalnya; pernah memiliki seorang santri yang saat di pesantren waktunya lebih banyak digunakan untuk membantu bekerja di ladang dan sawah demi ketaatan kepada gurunya daripada waktu yang digunakannya untuk belajar di ruang-ruang kelas. Setelah hitungan tahun berlalu; kyai Kholil memanggil santri tersebut dan mengatakan bahwa masa studinya telah usai, lalu menyuruhnya untuk pulang dan mendirikan pesantren. Meskipun pada mulanya santri ini bingung, merasa belum mendapatkan pelajaran yang cukup selama ia menimba ilmu disitu, namun ‘loyalitas tanpa tanda tanya’ itu menghendaki jawaban ‘ya’ untuk setiap perintah gurunya. Kenyataannya; ia kemudian dapat merintis sebuah pesantren, dan pesantren itu masih ada hingga sekarang dengan jumlah santri ribuan. Dan itu adalah buah dari jiwa ihlasnya.
Inilah hubungan jiwa Guru dan Murid; tali penghubungnya bernama Ihlas. Meski kelihatanya sepele, namun hubungan itulah pondasi bagi lahirnya manusia-manusia yang keberadaanya berharga seribu orang. Mungkin saja secara metodologis pendidikan dan pengajaran yang ada; tidak bagus-bagus amat, biasa saja atau bahkan ketinggalan zaman, namun jiwa yang dimiliki guru dan murid yang demikian itu; menciptakan gelombang dahsyat perubahan dalam pembentukan jiwa seorang murid. Apa yang dalam filsafat pendidikan Gontor kemudian dikenal dengan istilah ‘ruhul mudaris ahamu minal mudaris’ jiwa guru lebih penting dari guru itu sendiri. Wallahu a’lamu bishawab. (hasibamrullah).