Secara etimologi (Bahasa), kata ‘wakaf’ berasal dari kata waqf (Bahasa Arab), yaitu masdar dari kata kerja waqafa sinonim dengan kata habasa artinya menahan, mencegah atau menghentikan. Dalam istilah syara’ (hukum) wakaf berarti menahan harta dan membelanjakan atau mengalirkan hasilnya di jalan Allah SWT. Ini berarti bahwa harta yang telah diwakafkan itu tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan, dan hasilnya hendaklah digunakan sesuai dengan ketentuan pewakafan itu sendiri. Instrumen wakaf ini memang terbilang unik. Ketika wakaf diserahkan, kepemilikan pribadi berubah menjadi kepemilikan umum untuk keperluan orang banyak, yang hasilnya juga bisa dinikmati secara berkelanjutan. Dengan demikian, menurut Islam, bahwa harta wakaf harta adalah harta keagamaan yang bersifat abadi, yang harus dikelola dan dikembangkan untuk kesejahteraan umat, menurut syarat-syarat yang telah ditentukan.
Dalam perjalanan sejarah umat Islam wakaf telah berperan sebagai sarana dan modal yang secara nyata telah memberikan sumbangan besar bagi kemajuan dan kesejateraan umat. Umat Islam di beberapa negara, terutama negara-negara di kawasan Timur Tengah telah merasakan manfaat yang besar dari wakaf. Sebagai contoh, wakaf yang dimiliki oleh Al-Azhar di Mesir telah berperan besar dalam menyejahterakan kehidupan umat Islam di negeri ini baik lahir maupun batin. Dalam bidang pendidikan, wakaf Al-Azhar telah mampu membuat Universitas Al-Azhar tetap eksis dan survive selama tidak kurang dari 1000 tahun dan memberikan beasiswa kepada ribuan mahasiswanya. Di bidang dakwah, Al-Azhar telah membangun rumah-rumah ibadah dan mendirikan berbagai lembaga dakwah, infrastruktur pendidikan, serta mengirimkan para dai atau dosen ke berbagai belahan dunia. Tak hanya itu untuk mendukung keberlangsungan institusinya, dengan wakaf Al-Azhar mampu mengembangkan kemandirian lembaganya dengan memanfaatkan peluang bisnis, seperti perkebunan, pertanian, pabrik apartemen dan lain-lain. Pendek kata, wakaf di Al-Azhar telah berperan dalam menciptakan lingkungan kelembagaan seperti tiga poin di atas. Jika kelembagaannya masih bersifat individualistic-kharismatik pada gilirannya akan menggantungkan hidup pada individu yang berwenang tersebut.
Manajemen kelembagaan yang berbasiskan komunitas adalah sebuah keniscayaan bila menghendaki keberlangsungan lembaga. Pasalnya dasar pijakan model ini adalah komitmen pada akuntabilitas lembaga bukan individu. Akuntabilitas lembaga lembaga banyak ditentukan oleh kehandalan individu-individu yang bertanggungjawab dalam artian siap membantu membela dan memperjuangkan institusi. Komitmen seperti ini juga berlaku bagi para keluarga yang memiliki garis keturunan dai para pendiri Pondok. Jika mereka tidak siap bebuat untuk Pondok, tidak memiliki kemampuan, atau memiliki karakter yang zhalim, maka dalam “kamus PMDG”, suksesi kepemimpinan bukanlah di tangan mereka. Sebaliknya jika para keluarga tersebut memenuhi kualifikasi di atas, maka mereka termasuk orang yang diperhitungkan untuk kepemimpinan yang sudah dirintis oleh para leluhurnya itu. Hal ini selaras dengan cara pandang Al-Qur’an: “Dan ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya berupa melengkapi sebuah kalimat, bahwa sesungguhnya Aku menjadikan kamu sebagai pemimpin manusia, lalu siapa yang akan menggantikanmu? Ibrahim menjawab, adalah para keturunanku kemudian Allah memberikan pengecualian, bahwa tidak akan menjadi pemimpin, orang-orang yang zalim, walaupun dari para keturunanmu” (QS AL-Baqarah: 124).
Diambil dari buku “Manajemen Pesantren” hal. 97