“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang, pelajarilah ilmu Faroidh dan ajarkanlah ilmu itu kepada orang-orang, karena aku adalah manusia yang akan direnggut (wafat). Sesungguhnya ilmu itu akan dicabut dan akan timbul fitnah hingga kelak ada dua orang berselisih mengenai pembagian warisan, namun tidak ada orang yang memutuskan perkara mereka.” (H.R. Ahmad, Nasa’i, dan Daru Quthni).
Gontor Putri Kampus 2—Betapa islam telah mengajarkan kepada umatnya setiap langkah kehidupan. Faroidh atau ilmu waris salah satunya. Dalam islam sendiri mempelajari ilmu faroidh merupakan fardhu kifayah. Maka pada hari Senin (1/10), Gontor Putri Kampus 2 mengadakan workshop faroidh bagi kelas 6 dan pengajar Faroidh bersama pakarnya yang juga merupakan alumni Gontor, Al-Ustadz Abdul Malik Imam Nasir.
Beliau adalah sosok yang berjasa dalam menyusun buku Faroidh yang hingga kini telah dapat dinikmati oleh seluruh santri dan santriwati Gontor. Beliau bukanlah orang yang ahli dalam ilmu Faroidh pada awalnya. “Saat kelas 3 Intensif nilai Faroidh saya jelek, cuma dapat 4,5.” Tutur Alumni asal Ciamis ini. Maka saat menjadi pengajar, beliau tak mau muridnya mengalami apa yang dialaminya, sehingga beliau memutar otak agar menjadikan belajar Faroidh tak lagi jadi beban.Berbekal referensi buku-buku Faroidh yang terdapat di perpustakaan, beliau mencari cara yang mudah untuk mempelajarinya. Beliau pun membuat diktat materi Faroidh dalam bentuk bagan-bagan layaknya mind maping sehingga mudah dicerna dan diterima oleh otak.
Kebetulan berada dalam sektor KMI bidang materi, beliau mengajukan diktat faroidh yang telah beliau susun kepada Direktur KMI yang ketika itu adalah Al-Ustadz Imam Badri dan Al-Ustadz Syamsul Hadi Abdan. Kemudian beliau diminta untuk mengumpulkan semua pengajar Faroidh untuk mengajarkan ilmunya tersebut. Beliau sangat berpegang teguh pada pesan Al-Ustadz K.H. Imam Zarkasyi, “Belajar membaca tidak untuk membaca, sama dengan buta.” Inilah yang menjadikan salah satu motivasi beliau untuk terus membaca kitab-kitab Arab, sehingga diktat Faroid beliau dapat terwujud.
Beliau juga sempat mengajar materi ini di Gontor Putri Kampus 1 pada tahun 1999. Dan pada ta’hil faroidh kali ini, beliau masih tetap menggunakan manuskrip yang beliau pernah ajarkan di kampus 1 dahulu, masih tertulis diatas kertas dengan pena yang kemudian diperbanyak dan dibagikan kepada setiap peserta workshop. Sengaja tak ditulis kembali dengan komputer, bersejarah tuturnya. Meskipun sudah terbilang berumur, beliau dengan senang hati mengendarai bus dari Cilacap ke Mantingan karena cintanya terhadap Gontor, tanah yang pernah mendidiknya dahulu.
Berlokasi di Masjid Gontor Putri Kampus 2, workshop ini berlangsung selama 6 jam pelajaran. Diharapkan dengan diadakannya acara ini, kelas 6 dan pengajar Faroidh dapat memahami ilmu waris lebih dalam, sehingga dapat mengajarkan dan menerapkan ilmu tersebut di masyarakat kelak.()