Date:

Share:

Tasyji’ Pak Syukri yang Luar Biasa

Related Articles

Pada sebuah hari di tahun 2005, saya, Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) Ahmad Mukhrizi, Wakil Ketua Dema Unjang Tajul Aripin, Bendahara Muhammad Nasir, Ketua Panitia Bakti Sosial Arie Rahmat Soenjoto, mengenakan jas almamater dan berpenampilan rapi. Kami sama-sama berangkat ke kantor Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor untuk menghadap Kiai Abdullah Syukri Zarkasyi (Pak Syukri/1942-2020).

Sampai di sana, kami berdiri di samping kantor menunggu beliau keluar kantor yang dahulu menjadi rumah tinggal keluarga K.H. Imam Zarkasyi (1910-1985). Lokasinya di sebelah timur Masjid Jami’ dan sebelah selatan Masjid ‘Atiq, tempat sujud warisan Gontor lama.

Sekitar pukul 18.30 WIB, Pak Syukri membuka pintu dan memanggil kami. Semuanya berjalan cepat, mencium tangan beliau, dan duduk. “Apa ini?” kata beliau menanyakan maksud kedatangan kami.

Mukhrizi menjelaskan kedatangan kami semua adalah untuk melaporkan jalannya bakti sosial di Desa Sooko, sebelah timur Kota Ponorogo, beserta besaran dana yang digunakan untuk menyukseskan program tersebut.
Pak Syukri membaca berkas yang kami susun halaman per halaman. Ketika membaca laporan keuangan, beliau mempertanyakan satu hal. “Ini ada honor penceramah. Siapa penceramahnya?” tanya beliau. Kami menyebut nama seorang ustaz kader pondok.

Beliau kemudian menandatangani laporan kami dan menutup arsip tersebut. Setelah itu beliau menasihati kami tentang perjuangan membangun pesantren. “Kami di sini berjuang membangun Pondok ini, termasuk meningkatkan kesejahteraan para kader pondok, guru-guru pondok, sehingga kehidupan mereka jauh lebih baik,” jelas beliau dengan raut wajah sedikit tersenyum.

Memperjuangkan dan membantu Pondok itu harus dengan ikhlas lillahi ta’ala . Kerjakan yang terbaik untuk pondok. Didik anak-anak dengan sungguh-sungguh. Ajarkan mereka ilmu dan keterampilan hidup dengan penuh kasih sayang. Berdakwah di masyarakarat dengan ikhlas. “Saya di sini mendidik guru, kalian semua, santri, untuk ikhlas dalam beramal, termasuk berdakwah,” kata beliau. “Ikhlas bukan dengan cara memberikan honor seperti ini,” lanjut Pak Syukri.

Kami menganggukkan kepala. Ketika itu kami bersyukur beliau ‘menyetrum’ kami dengan energi keikhlasan dengan penjelasan yang menyentuh hati. Saya merasakan, ‘setruman’ beliau kala itu jauh lebih meresap ke hati ketimbang nasihat orang yang dekat dengan saya. Menggetarkan hati, menambah semangat, dan membuat saya termotivasi untuk lebih banyak berbuat kebaikan untuk pondok.

Dalam tradisi Gontor, ikhlas merupakan energi yang menggerakkan setiap insan di dalamnya menjalankan manhaj dan membangun infrastruktur pondok. Para guru yang menjadi pendidik santri tidak dibayar dengan uang bulanan santri. Mereka mendapatkan ‘kebaikan’ (ihsan) yang merupakan keuntungan amal usaha Pondok. Jumlahnya beragam sesuai dengan masa pengabdian dan kesungguhan bertotalitas untuk pondok.

Segala yang dikerjakan di dalam lingkungan pondok adalah khidmah yang tujuannya menghasilkan kebaikan. Niatnya adalah ibadah karena Allah semata, bukan untuk menggapai martabat dan penghasilan keduniaan yang fana.

Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1897) dalam Nashaihul Ibad menjelaskan, barang siapa melakukan amal kebaikan demi mendapatkan perhatian dan pujian orang lain, maka amal itu menjadi riya alias pamer. Jauh dari ikhlas.

Lalu apa batasan suatu amal yang dikategorikan ikhlas?

Ada tiga hal. Yang terendah adalah kita berbuat kebaikan untuk mendapatkan kenikmatan duniawi. Misal, mendirikan shalat Dhuha dengan maksud mendapatkan kelapangan rezeki. Hal ini dibolehkan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, orang yang mengerjakan shalat Dhuha lebih banyak mendapatkan ghanimah (rezeki). Hadis ini diriwayatkan Abu Ya’la dan disahihkan Ibnu Hibban.

Sayid Muhammad bin Abbas bin Alawi al-Maliki (1944-2004) menganjurkan muridnya untuk banyak membaca Surah al-Waqiah agar mendapatkan limpahan rezeki. Kandungan surah ini, jika dihayati maknanya, maka akan memotivasi seseorang untuk bersemangat mengerjakan kebaikan, termasuk beramal usaha untuk mendapatkan keuntungan.

Berikutnya adalah Ikhlas dalam tingkatan menengah . Hal ini diwujudkan melalui ibadah atau kebaikan dengan maksud menghindari azab, neraka (al-Furqan: 65), dan bercita-cita masuk surga. Mereka kekal di dalamnya dan tak ingin berpaling dari surga (al-Kahfi: 107-108). Orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah akan dibalas sebuah kebaikan yang kemudian tumbuh tujuh kebaikan. Lalu dari setiap kebaikan itu tumbuh ratusan kebaikan yang lain (Al-Baqarah: 261). Kelak balasan ini akan memberatkan timbangan kebaikan ketika dihisab di hari pembalasan. Ada banyak lagi ayat Alquran dan hadis yang menjelaskan tentang amal kebaikan yang berbuah hindaran dari azab dan mendapatkan surga.

Ikhlas yang tertinggi adalah seseorang melakukan amal kebaikan hanya mengharapkan Allah. Tidak ada harapan selain itu. Tak peduli surga, neraka, rezeki, dan segala kebaikan. Yang ada di hati hanya Allah. Mendidik anak di rumah, mengerjakan tugas di kantor, berdakwah di masyarakat, mengayomi warga, melakukan tugas kedinasan, menyetir mobil, mengantarkan orang ke tujuannya, bersedekah, wakaf, zakat, puasa, haji, dan segala ibadah dan amal saleh, semata-mata untuk Allah.

Ini tidak mudah. Hati harus dibiasakan untuk beribadah karena Allah dan tidak memedulikan omongan orang. Kita harus melatih dan membiasakan diri untuk ikhlas semacam ini, seperti Pak Syukri melatih dan membiasakan guru, keluarga besar Gontor, dan banyak orang, untuk ikhlas berkhidmah membangun Pesantren Gontor, bekerja, dan beribadah sehari hari.

Pak Syukri memang sudah tiada jasadnya. Tapi ruhnya tetap membersamai kita, memotivasi kita untuk ikhlas. Semoga kita bisa ikhlas seperti beliau. Allah yarham Pak Syukri, guru Gontor, bangsa, dan peradaban. Dari Gontor beliau mewariskan keikhlasan.

 

(Tulisan oleh: Erdy Nasrul, Reviewer: Riza Ashari)

Popular Articles