Bukan karya yang pertama lagu “Kembalilah” oleh Kiai Gontor.
Di Pondok Modern Darussalam Gontor, seni (musik, beladiri, kaligrafi, teater, merangkai janur, kertas, landscaping, grafis, drama, tari, dll) ada dan dibina dengan biaya bimbingan oleh yang lebih senior. Sampai-sampai salah jika ada yang bertanya “Di Gontor ada apa?” Harusnya, pertanyaan itu berbunyi “Apa yang tidak ada di Gontor?”
Musik dikembangkan untuk mengasah kreativitas, mengisi dan menata jiwa santri. Melahirkan dan mengekspresikan multitalenta sebagai anak muda, sekalipun musisi walaakinnii muslim. Tujuan untuk cari popularitas (syuhroh), menjadi selebriti, tidak dianjurkan. Seni harus dipandang sebagai anugerah Allah yang diberikan dalam fitrah manusia. Manusia hendaknya bisa mengelola jiwa seninya ini dengan baik dan benar.
Pendekatan yang dipakai untuk berseni, musik dan lainnya, itu dengan melihat Islam sebagai agama tauhid dan seni musik adalah tauhidul ashwaat (perpaduan suara). Dengannya orang menjadi senang, terhibur, dan akhirnya sehat dan kuat menjalankan ibadah yang luas aspeknya itu.
Tidak terpisah dengan tauhid itu bahwa Islam mengandung ajaran syumuliyah (kesempurnaan, kebersamaan, kemenyeluruhan). Oleh karena itu seni musik dibina juga dalam rangka seperti itu. Instrumennya, macam-macam bunyi dasarnya, pemainnya, sastranya, lirik, genre, dan harmoni-harmoni di dalamnya semua mengacu kepada syumuliyah.
Seni musik di PMDG juga tidak lepas dari aspek tawaazun (keseimbangan). Keseimbangan waktu latihan, waktu main atau pentas, semua harus seimbang dengan fungsi lain para pemainnya, yaitu santri yang juga harus pintar mengaji, bahasa asing, tholabul ilmi, membagi waktu dan tenaga. Seimbang dalam pengertian tahu papan empan kapan seni musik- khususnya-harus diaktifkan dan diefektifkan.
Adapula muruunah yang berarti fleksibel, tidak dibuat-buat, tidak terpaksa, tidak terikat oleh satu rutinitas, satu aliran musik. Di Gontor sendiri ada beberapa grup musik seperti: seni hadroh yang bernafaskan timur tengah, sidasa dan mahadasa band yang beraliran pop, ada pula yang beraliran keroncong, dangdut, dan lainnya.
Keindahan, keserasian, tentu juga diperhatikan tetapi lebih penting dari pada itu. Muusiiqo huwa fannun wa dzauqun wa mahaarotun wa ‘ibaadatun yang artinya: “musik adalah seni, rasa, ketrampilan, dan ibadah.”
Oleh karena itu tidak mudah untuk sampai kepada musik yang kualitas pesan di dalamnya tidak educate. Dan bila dimainkan di panggung harus -setidaknya- bikin enjoy baik para pemainnya sendiri maupun penontonnya, bikin entertained (terhibur) semua, dan dimainkan dengan elegan.
Itulah catatan singkat saya tentang musik di PMDG.
Kiai sebagai “sentral figur” menjadi teladan bagi santri dan guru-guru bagaimana bermusik yang Islami, bersastra yang penuh hikmah, mauidhoh hasanah, berisi ahsanu qoulan min man da’aa ilallohi. Itulah sentral figurnya musik santri dan kIai Gontor.
Kalau sekarang, Kiai Hasan bin Kiai Sahal (salah satu Trimurti Pendiri Pondok Gontor) meluncurkan hit dengan judul “Kembalilah” dalam rangka mengajak ummat untuk taubat dari maksiat, bagi penulis adalah biasa.
Bukankah ustadz-ustadz terdahulu, zaman Trimurti masih sugeng, juga telah pada bermain musik, diizinkan, dimotivasi, dilatih, difasilitasi. Kita tengok ke belakang. KH. Mahfudh Hakim (alm) mengarang lagu dgn judul Isro’ Mi’roj, Bulan Maulud. KH. Sutadji Tajuddin menterjemah Syi’ir Abi Nuwas ke dalam Bahasa Jawa dan juga didendangkan dengan hikmatnya. Dan, lebih dari itu Kiai Ahmad Sahal (alm) telah melahirkan puluhan lagu Syi’iran yang masih diajarkan sampai sekarang di Madrasah Tarbiyatul Athfal Gontor.
Ditulis oleh:
Al Ustadz H. Noor Syahid, M.Pd.I pada 18 April 2020.
Video dari lagu “Kembalilah” dapat dilihat melalui link di bawah ini: