Dalam rangka melindungi dan menjaga santri, guru, serta Keluarga Besar Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) dari risiko penyebaran Coronavirus Disease (Covid-19) di lingkungan PMDG, serta memperhatikan perkembangan situasi dan kondisi akhir-akhir ini, Pimpinan PMDG menyampaikan maklumat berikut.
Ukhuwwah Islamiyyah; Tumbuhkan Persatuan dan Cinta
Manusia diciptakan di muka ini dengan berbagai macam perbedaan; baik itu dari suku bangsa, agama, bahasa, budaya, serta perbedaan lainnya. Dari perbedaan tersebut, terkadang menimbulkan perselisihan di antara manusia. Namun sejatinya, perbedaan tersebut tidak untuk memicu perpecahan di antara mereka. Agama Islam mengajarkan kepada umatnya bahwa perbedaan ada untuk tujuan Ukhuwwah Islamiyyah dan persatuan.
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Hujuraat ayat 13:
يَآ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Dari ayat tersebut, kita bisa memahami bahwa meskipun manusia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, namun sejatinya mereka berasal dari satu leluhur yang sama, yaitu nabi Adam A.S. dan Siti Hawa selaku manusia pertama di dunia. Tersebarnya manusia ke seluruh penjuru dunia dan membangun bangsanya sendiri bukanlah untuk tujuan memecah belahkan antara satu dengan yang lain, melainkan untuk saling mengenal yang mana akan membuat mereka memaklumi kelebihan dan kekurangan satu sama lain, dan dari situ akan membuat persatuan mereka semakin erat.
Persatuan yang utuh dan persaudaraan yang erat, adalah yang tidak bisa dipisahkan. layaknya satu kesatuan, satu sama lain saling terhubung. Ketika yang satu sedang mengalami kesulitan, yang lainnya haruslah hadir di sisinya untuk mengulurkan bantuan. Ketika ia sedang dirundung kesedihan, kawannya lah yang menghiburnya dan memberinya semangat untuk bangkit kembali. Pengibaratan ini dalam Islam sebagaimana diungkapkan dalam hadis riwayat Imam Muslim, dari Nu’man bin Basyir bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهْرِ وَالْحُمَّى
Artinya: “Orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya)”.
Apakah tujuan dari Ukhuwwah Islamiyyah tersebut? Bila kita mau menelisik lebih dalam, persaudaraan yang terjalin tersebut akan menghindarkan kita dari berbagai konflik dan perselisihan. Siapapun yang memiliki kelebihan tidak akan merasa dirinya lebih baik, dan siapapun yang serba kekurangan tidak akan minder ataupun menerima perlakuan diskriminasi, karena saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Persaudaraan inilah yang tidak hanya langgeng di dunia, namun juga akan kekal di akhirat dan menghantarkan kita menuju Surga-Nya.
Hal ini pun seperti yang diungkapkan oleh Rasulullah s.a.w. dalam salah satu kutipan hadisnya riwayat Muslim, dari Abu Hurairah R.A., yang berbunyi:
لَا تَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا وَلَا تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا
Artinya: “Kalian tidak akan masuk surga kecuali kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai.”
Maka, kita sebagai seorang muslim yang taat menjalankan semua ajaran yang terkandung dalam Islam, sudah seyogyanya bagi kita untuk menumbuhkan rasa cinta dan peduli kita terhadap sesama. Sayangilah saudara kita, baik itu yang berasal dari satu suku dengan kita maupun yang berbeda suku bahkan negara. Maklumilah semua kekurangannya, terimalah perbedaan yang ada, sehingga dengan demikian akan menumbuhkan ukhuwwah Islamiyyah yang erat serta rasa persatuan yang kokoh, tidak mudah goyah, dan mampu menghadapi pelbagai permasalahan di dunia ini dengan baik, untuk kemudian dipertemukan kembali di surga-Nya nanti. Aamiin.
Penulis: Ust. Husein Zahrul Muhsinin. Editor: Ust. Taufiq Affandi
Artikel Terkait Ukhuwwah Islamiyyah:
Gontor Premier League Dihelat Lagi, Perkuat Ukhuwwah Antarklub
Mahadasa Show 2019: “Shine of Islam, Shine of Ukhuwah”
Tumbuhkan Kebersamaan Ukhuwah Islamiyah, Gontor Adakan LP3
Ambalan Gembira: Menjalin Ukhuwah
Video Nasyid Ukhuwah Islamiyah
Tausiyah KH Syamsul Hadi Abdan tentang Ukhuwah Islamiyah
Seminar Bersama Al-Ustadz Fuad Muhammad Zein; To be Real Collegian and Great Ustadzah
Mantingan-Universitas Darussalam Gontor (UNIDA) merupakan satu-satunya universitas di Indonesia yang berbasis pesantren atau bersistem asrama. Saat ini, UNIDA memiliki 7 Fakultas dan 18 Program Studi. Kegiatan Kemahasiswaan yang ada di UNIDA dalam bidang akademik maupun non akademik sangatlah beragam, salah-satunya adalah mengadakan seminar untuk menambah wawasan dan membentuk pola pikir yang sistematis dan terarah.
Tepat pada Jum’at (21/08) mengadakan seminar yang bertempat di Aula Kulliyatu-l-Banat bersama Al-Ustadz Fuad Muhammad Zein, S. Fil., M.Ud beliau adalah alumni Gontor tahun 2007 dan menyelesaikan program studi sarjana dan pascasarjananya di Universitas Darussalam Gontor, beliau pernah menjabat sebagai ketua senat ushuluddin dan juga ketua Dewan Mahasiswa Pascasarjana dan sekarang beliau Dosen UNIDA .
Acara ini bertemakan “To be real Collegian dan great ustadzah”, tema ini sangat cocok dengan keadaan Mahasiswi Guru. Karena dalam menjalani aktvitasnya, Mahasiswi Guru Unida Gontor memiliki 3 peran yang signifikan, yaitu sebagai pengajar, mahasisiwi, dan staf pondok. Ketiga peran ini harus mampu untuk seimbang tanpa mengungguli satu dengan lainnya. Di seminar ini beliau membahas mengenai bkiat-kiat agar menjadi mahasiswi baik dan dapat mengatur waktu sebaik mungkin.
Beliau juga membahas bahwasanya solusi terbaik dalam penyeimbangan lelah dan capek akan beban yang dipikul terlebih jika pekerjaan yang dihadapi ialah hal yang dibenci ialah keikhlasan dalam menjalankan tugas dan amanat yang telah diberikan.
Selain itu, hal yang perlu disadari oleh para mahasiswi adalah kesempatan yang didapatkan sekarang baik untuk menggali potensi diri masing-masing. Setiap kegiatan yang dilakukanpun harus memiliki alasan yang tepat. Dan para mahasiswi harus lebih memanfaatkan waktu yang dia punya sebaik mungkin.
Begitulah seminar dari Al-Ustadz Fuad tentang kiat-kiat menjadi mahasiswi guru dan Ustadzah yang baik dengan memanfaatkan waktu yang ada. Begitulah acara di Gontor, selalu mempunyai ide dalam membentuk pola pikir yang sistematis dan terarah dan senantiasa berpacu dalam peningkatan kualitas diri sebagai bekal dalam jihad Li I’laa’i Kalimatillah.
Andi Ghariza
Perjuangan Santri dan Pesantren; Refleksi Nilai Sumpah Pemuda
“NKRI; Harga Mati, Sampai Mati!”
Begitulah bunyi kutipan pidato yang disampaikan oleh K.H. Hasan Abdullah Sahal, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) saat menerima kunjungan Wakil Presiden Republik Indonesia, Dr. Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla pada hari Kamis, 3 Oktober 2019 lalu. Kunjungan tersebut dalam rangka peresmian Menara Masjid Jami’ PMDG dan gedung Centre for Islamic Economic Studies (CIES) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor.
Dalam pidato beliau menyambut rombongan tamu kehormatan tersebut, banyak sekali poin-poin penting yang merefleksikan jiwa nasionalisme dan kebangsaan yang dimiliki oleh para santri dan warga pesantren. Semangat juang yang disuarakan, nafas keikhlasan, prinsip anti penjajah dan penjajahan, seakan mengalir dalam rangkaian pidato yang beliau bawakan di depan seluruh hadirin. Dan kita, warga Indonesia, khususnya para alumni pesantren yang menjunjung tinggi jiwa kesantrian serta nilai keislaman, haruslah bercermin dan mengambil banyak pelajaran dari kutipan pidato semacam itu.
Berikut nilai-nilai kandungan Sumpah Pemuda yang diwarisi oleh pesantren dan para santri yang bisa kita intisarikan dari kutipan pidato beliau:
- Perjuangan Membela Bangsa dan Negara
Sebagai warga negara Indonesia, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk membela Republik Indonesia dari segala yang berpotensi merenggut kemerdekaannya. Dan semangat ini telah ditanamkan sejak dini ke dalam diri para santri; bahwa mereka dididik untuk menjadi mundziru-l-qaum serta kader pemimpin umat yang nantinya akan terjun ke masyarakat, menjadi agen-agen untuk mendidik dan mencerdaskan bangsa. Bila para tentara melawan penjajah yang datang dari bangsa lain, maka pondok pesantren melawan kebodohan yang menjajah anak-anak bangsa. “Pondok ini (dan pesantren pada umumnya _red) sejak sebelum kemerdekaan, bersama negara Republik Indonesia membina umat di dalam pendidikan.” jelas beliau.
- Nasionalisme dan Cinta Tanah Air
“Di pondok pesantren bukan hanya 4 pilar kebangsaan, tapi berpuluh-puluh pilar.”
Isi dari poin pidato beliau yang satu ini mengisyaratkan bahwa jiwa nasionalisme dan cinta tanah air sejatinya telah lama dimiliki oleh warga pesantren. Kiai dan para santri tidak seharusnya diajarkan tentang NKRI dan nasionalisme, sebab justru pesantren lah yang menjadi cikal bakal dari lahirnya nilai-nilai tersebut. Kehidupan yang sarat akan nilai-nilai keislaman, persaudaraan Ukhuwwah Islamiyyah, keikhlasan, bersatu dalam perbedaan, menjunjung tinggi musyawarah untuk maslahat umat, semuanya terangkum menjadi satu paket dalam kurikulum pesantren.
- Benteng Persatuan dan Keutuhan Bangsa
Pondok pesantren telah membersamai bangsa Indonesia dalam perjalanannya melawan penjajah dan penjajahan. Semangat persatuan, gotong royong, dan berkorban tanpa pamrih lah yang menjadi nafas perjuangan mereka, mengantarkan bangsa Indonesia hingga menjadi seperti saat ini dengan segala kekayaan dan kelebihannya. Tentu, warga pesantren tidak akan rela bila bangsa ini sampai dipecah-pecah, dikoyak-koyak atau bahkan dikotak-kotak, sebab mereka adalah saksi perjuangan Indonesia untuk bersatu dan menjauhi semua perselisihan tersebut bahkan sejak sebelum deklarasi kemerdekaan. “Yang berani mengoyak-ngoyak, akan langsung berhadapan dengan kita (warga pesantren). (Karena) kita membina NKRI sejak sebelum merdeka, sampai merdeka.” tegas beliau.
Demikianlah beberapa intisari yang dapat kita ambil. Semoga bisa menjadi pembelajaran bagi kita, di tengah-tengah peringatan Hari Sumpah Pemuda agar semakin memaknai arti perjuangan bangsa Indonesia pada masa penjajahan dulu, sehingga bisa menjadikan kita pribadi santri sumpah pemuda yang menjiwai nilai-nilai keislaman namun tidak lupa untuk menjunjung tinggi nasionalisme.
Full video Silaturahim Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla di Pondok Modern Darussalam Gontor:
Video Sambutan K.H. Hasan Abdullah Sahal: menit ke 1.08.58 – 1.19.40
Related Articles:
Puisi Kemerdekaan Karya Santri Gontor: Merah Putih Suci
Upacara Kemerdekaan Indonesia ke-75, Mengingatkan Akan Besarnya Perjuangan
Pendidikan Nasionalisme Dalam Demonstrasi Bahasa
Bhineka Tunggal Ika Internasional di Gontor Kampus 2
Kiai Syukri: Kamu itu Anak Macan
Kyai Syukri Dalam Kenangan Santrinya
Oleh:Hadiyanto Arief
Sore hari di akhir tahun 2006, di salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan saya mendapat kejutan tak terduga dari seorang yang saya tak pernah bayangkan sebelumnya.
Kyai Abdullah Syukri Zarkasyi, yang biasa dikenal santrinya di Gontor dengan panggilan Pak Syukri, datang berkunjung. Saat itu saya memang sedang mendapat giliran menjaga Ibunda yang sedang dirawat di RS tersebut. Ayah saya, Andin, begitu Kyai Syukri memanggilnya, memang bersahabat dengan Kyai Syukri. Selain adik kelas di Gontor, mereka juga sama2 diamanahi mengawal perjuangan Pesantren Darunnajah.
Kejutan waktu itu ada dalam bentuk permintaan Kyai Syukri yang tak biasa setelah kunjungan singkat tersebut. Ia mengambil kunci mobil sedannya dari supirnya dan menyerahkan kepada saya seraya berkata, “ayo, antar saya cari makan”.
Masih dalam kondisi terkejut, saya hanya menuruti apa permintaan beliau. Kuarahkan mobil yang kami kendarai ke sebuah restoran cepat saji di dekat rumah sakit tersebut..
Sambil menikmati hidangan cepat saji yang ia pesankan untuk kami berdua, kami mulai berbincang santai, perbincangan layaknya seorang anak dan ayahnya, perbincangan yang menjadi titik yang paling menentukan dalam hidup saya setelahnya.
Berbulan bulan sebelum kedatangan beliau ke RS tersebut, saya memang baru saja pulang dari Inggris setelah menyelesaikan kuliah master saya. Masa masa itu adalah momen dimana diri ini berada dipersimpangan besar. Galau memilih jalur yang harus ditempuh. Titik krusial dimana saya harus menentukan arah jalan yang diambil.
Ada dua pilihan terbentang, apakah akan memilih jalur profesi diluar di dunia hukum seperti yang diharapkan oleh Ibunda, ataukah memilih jalur berjuang di pesantren.
Almarhum Ibunda adalah seorang dokter lulusan PTN ternama di Jogjakarta yang bukan jebolan pesantren. Ia memang berpesan untuk diriku agar jangan pernah menggantungkan hidup di pesantren, dan justru kalau bisa mencari penghidupan diluar dan bisa membantu pesantren dari luar. Seperti yang bapak saya jalankan dengan profesi notarisnya. Begitulah mindset yang ada selama ini di fikiran beliau, pesantren itu tempat mengabdi, jangan gantungkan hidupmu disana.
Amanah Ibunda itulah yang menjadi alasan utama kenapa diri ini memilih jurusan Hukum di sebuah almamater Ibu di Jogjakarta tersebut. Berharap suatu hari bisa meneruskan profesi notaris Ayahanda atau minimal menjadi konsultan hukum di Ibukota. Profesi yang kira-kira sangat menjanjikan untuk jiwa muda yang tumbuh di Ibukota lulusan universitas ternama dan sedang mencari jati diri.
Kembali ke moment berdua dengan Kyai Syukri, moment singkat yang tak lebih dari satu jam bersamanya adalah moment yang membuat saya akhirnya mengambil keputusan besar untuk mengambil jalur yang tidak mudah.
Pembicaraan santai penuh makna di sebuah restoran cepat saji itu rupanya menjadi setruman kejutan nan dahsyat yang menyadarkan alam bawah sadar yang selama ini sebenarnya sudah beliau desain dan harapkan. Nilai-nilai perjuangan pondok yang disampaikan dengan gaya khas Soekarno-nya, berapi api yang biasa beliau sampaikan kepada santri di balai pertemuan dulu menyiram kesadaran diri layaknya air hujan yang mengguyur pohon yang layu ini.
Inti dari nasihat beliau sore ini terangkum dalam kalimat yang saya tak bisa lupakan saat hingga hari ini: “Kamu itu anak macan. Ditakdirkan mengurus urusan besar. Urusan ummat. Jangan kau rendahkan dirimu mengurus hal keduniawiaan yang tidak terkait dengan kepentingan ummat”.
Kata-kata yang beliau sampaikan sore itu membangunkan memori di kepala terkait nasihat-nasihat terkait nilai nilai perjuangan yang sering beliau sampaikan kepada seluruh santri dulu. Terlintas jelas dikepala kritik keras untuk lembaga pesantren yang diwakafkan kakekku, yang beliau sempat sampaikan di depan seluruh santri tahun 1995 saat saya duduk di kelas 5 TMI, “Keikhlasan sudah berkurang di pondok itu, biar dia yang memperbaiki!”
Pesan yg disampaikan puluhan tahun lalu itu menemukan konteksnya sore itu. Percakapan itu layaknya pukulan jab yang beliau hantamkan ke ulu hati seorang petinju yang akhirnya membuat saya luluh dan berbalik arah menyadari ketidakyakinan saya akan sakralnya sebuah amanah perjuangan.
Segera setelah beliau mengantar saya kembali ke RS, saya menghadap Ibunda yang sedang berbaring di ICU. Memohon restunya utk meninggalkan cita cita dunia dan menjalani hidup untuk membesarkan pesantren wakaf ini.
Kisah kecil yang saya alami ini menggambarkan kepribadian dan kepemimpinan Kyai Syukri yang luar biasa.
Perhatian personal beliau kepada santri dan kader-kader alumni menjadi salah satu kekhasan yang sulit dicari tandingannya.
Selain orator dan motivator ulung yang sambutannya selalu ditunggu tunggu oleh setiap santri dan audience,beliau memiliki kehkhasan lain, yaitu pendekatan humanisme. Pendekatan personal yang sanggup membuat kepercayaan diri setiap santri merasa istimewa dan merasa seperti nelayan yang mampu menerjang badai di samudera ganas.
Perhatian yang tidak didapat oleh anak-anak kandungnya saja, tetapi juga anak ideologisnya yang tersebar di pelosok negeri bahkan dunia.
Perhatian beliau seperti itu tidak berhenti dititik itu. Dalam perjalanan membesarkan pondok kecil di Cidokom, Bogor, saya harus mempersiapkan segala jawaban dari pertanyaan pertanyaan yang beliau ajukan setiap ada kesempatan bertemu dengan saya. Detail jumlah santri, progress pembangunan, usaha pendanaan dan program apa yang saya kerjakan di pondok adalah sebagian kecil yang selalu ia tanyakan.
Salah satu kenangan yang paling dalam yang menggambarkan kualitas luar biasa dari kepemimpinan beliau adalah saat perbincangan terakhir saya dengan beliau melalui sambungan telpon.
Pada tahun 2012, tak lama setelah saya hijrah di Cidokom, saya mendapat kejutan terakhir kalinya dari beliau.
Waktu itu beliau sudah dalam kondisi sakit terkena serangan stroke. Ingatan terhadap orang-orang yang disekililingnya termasuk keluarga terdekatnya sudah sangat berkurang.
Itulah kenapa saya setengah tidak percaya ketika melihat layar handphone saya muncul panggilan dari beliau: KH Syukri Zarkasyi!
Diujung telpon terdengar suara salah satu guru senior, yang mengkonfirmasi identitas saya. Guru itu mengatakan, bahwa Kyai Syukri ingin berbicara.
Sesaat kemudian, terdengar suara khas Kyai Syukri, yang saat itu dalam kondisi sakit, tapi mengejar saya dengan pertanyaan pertanyaan terkait tugas yang ia berikan.
Bagaimana perjuanganmu? Apa program2mu? Sudah berapa banyak santrimu? Dan satu kalimat yang membuat saya gemetar: “Kamu harus lebih keras! Kamu harus berjuang lebih keras lagi!”
Belakangan, setelah telpon itu saya menelpon balik ke guru senior tadi. Bertanya kok bisa-bisanya beliau menelpon saya dalam kondisi sakit. Guru itu mengatakan, bahwa sebenarnya beliau sendiri tidak mengingat nama saya, tapi beliau minta kepada istrinya untuk dihubungkan kepada saya,: “saya mau bicara dengan anaknya Andin! Anaknya Andin yang aktif di pondok itu!
Subhanallah. Bahkan dalam kondisi sakit yang mengurangi daya ingatnya dan mendekatkan ke kematian, yang muncul di dalam memori terdalam beliau adalah tugas-tugas yang ia berikan kepada kader-kader Islam yang beliau bina. Kewajiban yang telah beliau lakukan dan menguras sebagaian besar energy dan perhatian beliau selama hidupnya.
Keteladanan yang sedikit banyak mungkin beliau dapatkan dari keteladanan Sang Nabi Yang Agung didalam masa singkat kerasulannya menyiapkan kader-kader Sahabat penerus perjuangan Islam, yang pada saat saat sakaratul mautpun hanya memikirkan ummatnya: Ummati, ummati..
Allahumma sholli ‘alaa Muhammad..
United Trimurti: Poros Madinah, Kairo, Manchester
Oleh A. Fuadi (Alumni Gontor, Penulis Negeri 5 Menara, IG @afuadi)
Pengasuh kami. Patah tumbuh hilang berganti. Ujian dan tantangan besar bagi puluhan ribu pesantren di Indonesia adalah regenerasi pemimpin. Apalagi, originnya pesantren memang bermula dari magnet seorang alim lautan ilmu. Sosok pandita ini lambat laun didatangi oleh orang-orang yang ingin belajar, semakin hari semakin ramai, lama kelamaan mereka tinggal di sekitar rumah orang alim itu supaya leluasa belajar. Orang alim ini ikhlas mengajar dan pendatang ini ikhlas diajar. Orang alim ini lalu dipanggil kiai, para penuntut ilmu inilah santri dan komunitas baru ini disebut pesantren. Koneksi mereka adalah sambungan energi ikhlas antara guru dan murid, bahkan sudah bagai orang tua yang mengasuh anak kandung sendiri. Lalu, bagaimana kalau orang alim ini wafat? Kepada siapa lagi para santri ini mengadu, bertanya dan belajar? Mereka bagai anak yatim. Apakah dengan wafatnya kiai, maka bubar pula sebuah pesantren?
Tiga orang founding fathers Gontor mencoba menghindari macetnya pesantren kalau kiai wafat. Tiga bersaudara yang kerap dipanggil Trimurti (KH Ahmad Sahal, KH Imam Zarkasyi, KH Zainuddin Fanani) sepakat mewakafkan pesantren milik mereka kepada umat Islam. Umat Islam ini diwakili oleh Badan Wakaf. Karena itu, keputusan tertinggi di Gontor ada pada anggota Badan Wakaf, kira-kira seperti fungsi MPR di era sebelum pilpres langsung. Ketika mereka satu persatu wafat, Badan inilah yang segera bersidang jika salah satu dari 3 kiai berkurang (Gontor selalu punya 3 kiai/pimpinan secara bersamaan). Badan ini segera memilih kiai baru, untuk memastikan pondok tetap berjalan dan santri terus punya pengasuh.
Saat melepas jenazah Kiai Syukri, Kiai Hasan terisak sambil menyeka air mata dengan punggung tangannya. Kurang lebih beliau mengungkapkan perasaan seperti berikut: “Beliau orang yang paling tahu saya, dan saya paling tahu beliau. Kini, saya ditinggal sendiri..” Tentu yang terbayang oleh Kiai Hasan adalah beban berat mengasuh 33 ribu santri di belasan pondok cabang Gontor, dan mengelola amanah 1000 hektar lebih tanah wakaf dengan segala aset lainnnya.
Kini Kiai Hasan sudah punya dua kawan seiring untuk mengasuh Gontor. Badan Wakaf sudah memilih 3 pimpinan baru. KH Hasan Abdullah Sahal, KH Akrim Mariyat, dan KH Amal Fathullah Zarkasyi. Ketiga kiai yang pernah mengajar di kelas saya dulu, adalah orang-orang terpilih dan amanah. Mereka bertiga adalah kombinasi yang kuat dan saling melengkapi secara ilmu dan persona. Pak Hasan tamatan Madinah University, Pak Amal dari Darul Ulum University, Mesir dan Pak Akrim dari Manchester University. Kesamaan para kiai ini, mereka semua lahir dan tumbuh dari tanah dan air Gontor. Rahim Daarussalam.
Kebetulan, beberapa tahun lalu saat menjalin kerjasama dengan berbagai universitas di Inggris Raya, mereka bertiga sempat berpose di Old Trafford Stadium dengan gaya United Trinity, trio legendaris MU (George Best, Denis Law, dan Sir Bobby Charlton). Kiai-kiai Gontor memang penyuka bola dan juga pemain bola. Walau mampir ke kandang MU, sejatinya Pak Hasan fans berat Barcelona, Pak Amal fans Liverpool. Mungkin Pak Akrim yang fans MU, karena dulu kuliah di Manchester University.
Kalau United Trinity mengharumkan kesebelasannya menjuarai Liga Champion tahun 1968, semoga “United Trimurti” ini membawa Gontor terus melaju jaya menuju usia satu abad. Aamin.
Kisah Foto Viral di Depan Monumen Legenda Trinity United di Old Trafford
Oleh: M.Husain Sanusi
Jangan pernah mengaku fans fanatik Manchester United jika Anda tidak pernah mendengar istilah Trinity United yang patung menomennya berdiri tegak di pelataran utama stadion Old Traford.
Di pelataran utama Old Trafford ada tiga monumen utama yang menggambarkan momen penting sejarah Manchester United.
Yakni, monumen peringatan Tragedi Muenchen, monumen United Trinity (George Best, Denis Law, dan Sir Bobby Charlton), serta patung Sir Matt Busby yang berdiri gagah persis di atas Manchester United Megastore.
Bagi penggila klub legendaris Liga Inggris berjuluk Red Devils itu, Trinity United sangat disanjung bak dewa karena sepak terjang ketiganya menjadikan Manchester United (MU) sebagai klub kawakan se-antero jagat dengan segudang prestasi baik di kompetisi domestik Liga Inggris maupun kompetisi elite Eropa, Liga Champions.
Di era kejayaan Trinity United tersebut, Red Devils menjelma jadi klub yang sangat disegani. Setiap lawan MU bahkan sudah keder duluan sebelum memasuki medan laga lapangan hijau.
Saya tidak akan bercerita panjang lebar tentang Trinity United. Sejatinya saya bukan fans MU, tapi fans musuh bebuyutan MU yang tidak bisa saya sebutkan namanya untuk menjaga netralitas yang hari-harinya aktif bertugas sebagai Jurnalis Desk Sport Tribunnews.com.
Saya akan mengulas sosok Trimurti baru Pondok Modern Gontor yang pada Jumat 23 Oktober 2020 telah resmi diumumkan sebagai Pimpinan Pondok Modern Gontor (PMDG) oleh Badan Wakaf PMDG lewat sebuah pengumuman sakral usai salat Jumat di Masjid Jami Pondok Gontor.
Prosesi pengangkatan Pimpinan PMDG, KH Akrim Mariyat dan KH Amal Fathullah Zarkasyi untuk mendampingi KH Hasan Abdullah Sahal sejatinya akan disiarkan Live di Gontor TV.
Mendadak rencana tersebut dibatalkan karena ada kebijakan baru untuk tidak Live meski link Live streaming sudah tersebar di saluran media sosial.
Jutaan alumni Gontor dan seluruh stakeholdernya tentu sangat menanti dan penasaran ingin mengetahui hasil pengumuman sakral ini karena keingintahuan yang besar siapa sosok Trimurti baru PMDG.
Beruntungnya, tim media PMDG sangat sigap. Hanya dalam hitungan detik setelah pengumuman di Masjid Jami Gontor, langsung beredar pamflet Pimpinan Baru PMDG dengan foto sangat apik, KH Hasan Abdullah Sahal, KH Akrim Mariyat dan KH Amal Fathullah Zarkasyi dengan background bendera PMDG.
Rasa penasaranpun langsung sirna, Trimurti baru PMDG sudah pasti dan Alhamdulillah suksesi kepemimpinan PMDG berlangsung sukses dengan suasana adem dan ayem.
Hanya berselang tak sampai 5 menit beredar lagi foto Trimurti baru PMDG dengan background ketiganya berpose di pelataran utama Old Trafford bergaya menyerupai Trinity United dengan KH Hasan Abdullah Sahal mengangkat tangan ke atas. Hanya kurang KH Amal Fathullah Zarkasyi yang tidak megang bola.
Saya tidak tahu secara persis siapa yang pertama menyebarkan foto tersebut, tapi foto ini viral bersaing dengan foto resmi rilis tim media Gontor.
(Update: Foto tersebut pertama kali dishare oleh Ustadzah Rossy Faradisi di akun instagram beliau pada 7 Oktober 2017)
Penasaran dengan foto tersebut, Sore hari Sabtu 24 Oktober 2020, saya bersama Munif Attamimi silaturrahmi ke kediaman KH Amal Fathullah Zarkasyi di Kampus UNIDA Gontor.
Kami berdua melaporkan banyak hal ke Ustadz Amal dan banyak berdiskusi banyak tentang tugas yang diamanahkan ke kami untuk terus menulis literasi khazanah sejarah PMDG.
Di tengah-tengah diskusi, Ustadz Amal tiba-tiba bercerita tentang foto viral di pelataran Old Trafford tersebut. Beliau juga kaget kok bisa foto itu viral?
“Saya juga tidak tahu bagaimana foto itu bisa viral. Kami bertiga juga tidak sengaja dulu ketika bertugas di Inggris foto seperti itu,” kata Ustadz Amal sambil tersenyum.
Ustadz Amal melanjutkan, pada 2017 lalu Pimpinan Gontor bersama dengan pihak UNIDA memang berangkat ke Inggris dan beberapa negara Eropa untuk sebuah acara seminar dan MOU dengan beberapa Perguruan Tinggi di Eropa.
Kebetulan ketika waktu senggang, rombongan ke Manchester dan ke Old Traford. “Lalu Ustadz Hasan yang mengajak saya dan Pak Akrim foto di depan monumen itu,” kata Ustadz Amal menjelaskan lagi.
Ustadz Amal lalu melanjutkan cerita, beliau dari sejak santri memang sudah hobi olahraga terutama badminton.
Ketika menjadi pengurus OPPM, Ustadz Amal ditempatkan di bagian olahraga sama dengan kaka beliau Almarhum KH Syukri Zarkasyi yang juga di bagian olahraga.
Jika di sepakbola, saya memprediksi Ustadz Amal fans nya Liverpool, saingan berat Manchester United. “Sayang sekali ketika ke Inggris saya tidak sempat ke Liverpool untuk melihat Stadion Anfield,” kata beliau.
Lalu, bagaimana dengan Ustadz Hasan? Sudah bukan rahasia jika Ustadz Hasan adalah pemain bola hebat dan fans berat Barcelona.
Dalam beberapa kesempatan beliau selalu bercerita tentang klub Catalan itu bersama dengan Mega Bintang, Lionel Messi. Foto Ustadz Hasan dengan mengenakan jersey Barcelona di Stadion Camp Nou juga sempat viral.
Kira-kira siapa hayo klub yang didukung Ustadz Akrim Mariyat? Saya sih memprediksi klubnya Ustadz Akrim Manchester United.
Ini analisa dan tandzim saya karena belum terkonfirmasi langsung ke beliau.
Alasan saya memprediksi Ustadz Akrim Mariyat mendukung MU, sebab beliau ini pernah lama hidup di kota Manchester dan merupakan lulusan Manchester University bidang Adult Education dengan gelar Diploma.
Ini sih baru prediksi, insya Allah akan ditanyakan langsung ke beliau hehehe…(Waallahu a’lam bisshowab).
Video Slideshow Kunjungan Kiai Hasan, Kiai Amal, dan Kiai Akrim Mariyat ke Inggris:
90% Hidup Saya Habis untuk Mengkader (Legacy KH Abdullah Syukri Zarkasyi)
Oleh: Ustadz Hadiyanto Arief, Pengasuh Ponpes. Annur Darunnajah 8 Cidokom
Hal tersulit dalam mengelola usaha dalam bentuk apapun adalah “mengelola orang”. Merekrut, melatih, memotivasi, dan mempertahankan orang sangat penting tapi luar biasa menantang dan butuh usaha tak mudah.
Sebuah survey yang melibatkan 100an lebih CEO di AS menemukan bahwa untuk merubah perusahaan mereka from good to great, hal pertama dan terpenting yang harus mereka lakukan bukanlah menulis visi dan strategi, tapi menemukan orang yang tepat untuk bergabung, mendepak orang yang tidak cocok, dan menempatkan orang yang tepat di kursi yang tepat. Ungkapan lama “orang bukanlah aset terpenting anda” ternyata keliru. Orang bukanlah aset terpenting Anda. Orang-orang yang tepatlah aset terpenting Anda. *Rahasia sukses Harvard Business School.
David Ogilvy, suhu periklanan legendaris dan pendiri agensi periklanan global utama Ogilvy and Mather, meyakini bahwa merekrut orang yang tepat bahkan dapat berarti merekrut orang yang lebih cakap daripada merekrut. konon, manakala seseorang ditunjuk untuk mengepalai satu kantor di firmanya, Ogilvy akan memberinya sebuah boneka Rusia. Boneka ini kalau dibuka akan berisikan sebuah boneka yang lebih kecil, yang kalau dibuka akan berisikan boneka yang lebih kecil lagi dan demikian seterusnya.
Di dalam boneka terkecil ada secarik catatan dari Ogilvy, “Jika setiap dari kita merekrut orang yang lebih kecil daripada kita, kita akan menjadi perusahaan orang orang kerdil. Tapi jika setiap dari kita merekrut orang-orang yang lebih besar daripada kita, kita akan menjadi perusahaan para raksasa.”
Pola inilah yang dalam pengamatan saya menjadi salah satu resep rahasia bagaimana Pondok Modern Gontor bisa menjaga kualitas pendidikannya hingga hampir satu abad lamanya. Meminjam istilah Jim Collin, Gontor telah mampu melampaui proses dari lembaga berlevel “Good” menjadi” Great” dalam menjaga visinya sebagai lembaga kaderisasi pemimpin.
Di umurnya yang mendekati satu abad ini, tak terhitung alumninya yang mampu memimpin dan mewarnai masyarakat dan lingkungannya, dalam segala bidang, baik di tingkat lokal, regional, bahkan nasional internasional.
Dalam beberapa kesempatan, (alm) Kiai Syukri Zarkasyi sering menyampaikan rahasia bagaimana Gontor bisa mempertahankan kualitas pendidikan lembaga yang beliau asuh. Gontor hanya mengambil sumber daya manusia (SDM) dari hasil proses internal lembaga pendidikan itu sendiri. Beliau juga menyatakan hanya memilih 10% alumni terbaik dari lulusannya setiap tahunnya untuk mengabdi di Pondok Modern Gontor itu sendiri. Mereka merekrut hanya kader kadernya yang sudah sangat mereka kenal kualitasnya dan bisa dibilang memiliki potensi dan kemampuan yang lebih dari diri mereka sendiri.
Proses kaderisasi di pondok ini memang luar biasa efektif dan terbukti bisa menjaga keberlangsungan lembaga dan menjaga kualitasnya. Dedikasi Gontor dalam melahirkan generasi Indonesia yang siap memimpin patut mendapat apresiasi lebih. Dalam Bahasa alm Kiai Syukri, “90% waktu dan energi hidup saya habis untuk mengkader”.
Mengkader orang, seperti yang diungkapkan oleh para CEO diatas, justru adalah tugas tersulit dan yang paling menantang dalam mengelola sebuah lembaga. Gontor dengan sengaja mengambil peran itu, mengetahui dampak strategisnya dalam menentukan arah masa depan Bangsa Indonesia.
Luar biasanya, Gontor tidak egois dengan hanya memikirkan kader internal lembaga itu sendiri. Kader-kader ummat, sepanjang memiliki visi perjuangan yang sama, diperlakukan sama seperti mengkader putra putri mereka sendiri.
Saya sendiri beruntung bisa termasuk satu diantara ratusan bahkan ribuah santri yang merasakan pola pengkaderan luar biasa ala Kiai Gontor ini. Perhatian personal kepada kami santri santrinya dalam beragam bentuk, seperti setruman nasihat, omelan, arahan, penugasan, dan banyak lainnya bisa dibilang menyentuh dan menggerakkan kesadaran yang paling dalam dalam jiwa kami.
Setiap alumni yang saya temui, memiliki potongan kisah dan kenangan versi mereka sendiri bagaimana Kiai Gontor, terutama Kiai Syukri mewarnai jalan hidup perjuangan mereka.
Inilah kepemimpinan level 5. Meminjam istilah Jim Collin dalam buku best sellernya, Good to Great, merupakan level tertinggi yang mungkin ada dalam dunia kepemimpinan. Pemimpin level tertinggi ini memiliki semangat yang kuat dan memiliki kebutuhan besar untuk memberikan hasil lestari. Pemimpin seperti Kiai-kiai Gontor membuka jalan bagi penerus mereka untuk meraih kesuksesan lebih besar lagi di generasi berikut.
Saat ini kita saksikan, energi dan perhatian yang beliau habiskan tidaklah percuma, bahkan terasa urgensinya terhadap perjuangan pendidikan yang Gontor cita-citakan. Mendekati satu abad umur pondok wakaf ini, tak ada indikasi pondok akan melambat setelah ditinggal pergi Kiainya.
Gontor baru saja ditinggal dua pimpinan terbaik mereka, Kiai Syukri dan Kiai Syamsul, namun justru dalam kondisi itu lompatan lompatan perkembangan kuantitas maupun kualitas terus diprogram oleh para kader yang siap melanjutkan kepemimpinan beliau. Kader kader pondok melimpah siap mengemban amanah jika dibutuhkan. Tersebar di23 kampus diseluruh Indonesia. Selain jumlah santri yang telah menembus angka tiga puluhan ribu, Gontor pun siap terbang dengan visi Universitas Islam Darussalamnya.
Pemimpin sejati memang selalu melahirkan pemimpin pemimpin lainnya.
Sebagai pengasuh sebuah pondok alumni, saya pun terhenyak menyadari kenyataaan tak banyak santri kami yang bersedia mengabdi di pondok tempat ia menuntut ilmu dengan berbagai alasan. Alumni-alumni terbaik bahkan biasanya telah direkrut dan diterima untuk melanjutkan studi mereka di lembaga Pendidikan Tinggi terkemuka. Tak sampai hitungan jari sisanya yang benar-benar bersedia mengabdi memperjuangkan pondok yang melahirkannya.
Tak ingin menjadi boneka Rusia, kami pun mengambil jalan pintas berusaha membuat permohonan guru pengabdian kepada Kyai Gontor, K.H. Hasan Abdullah Sahal. Dalam surat permohonan tersebut, biasanya secara eksplisit kami beri catatan permohonan untuk bisa dikirim guru alumni pengabdian terbaik dari Gontor untuk mengabdi di pondok kami. Tau apa jawaban beliau?
Beliau menjawab sambil tertawa lebar. “Gaweono dewe!” (Buatlah sendiri..!)
Saya pun hanya bisa tersenyum masam. Mau tak mau mulai berpikir keras bagaimana caranya mendidik santri dengan lebih benar dan niat tulus, sambil terus berdoa, semoga kami pun bisa melahirkan santri-santri berkualitas dan siap mengabdi seperti santri santri kampung damai itu. Begitulah cara Gontor mendidik santri alumninya. Wallahu a’lam bisshowab.
Cidokom, ditulis ulang 24/10/2020
KH Abdullah Syukri Zarkasyi: Menjiwai Panca Jiwa
Kiai Syukri, Kiai Karismatik yang Berkhidmat untuk Pondok dan Ummat
Gontor, Kampung yang Damai sedang berduka. Kabar duka itu kemudian dalam sekejap menyebar menyeruak ke seantreo penjuru Nusantara, kawasan Asia Tenggara, bahkan penjuru dunia.
Sebagian besar kami para santrimu, yang jauh di perantauan dan tersebar di berbagai lapangan perjuangan, mungkin hanya dapat mendo’akan dan mengirimkan bacaan al-Fatihah, serta mungkin membaca surat Yaasin dan Tahlil atas wafatnya kiai kami. Namun, kami haqqul yaqin, apa yang kami lakukan di berbagi belahan dunia, adalah wujud kami berbakti, mengamalkan ilmu yang Antum ajarkan, yang insya Allah akan menjadi investasi akhirat ‘ilmun yuntafau bihi’dan amal jariyah bagi ayahanda tercinta serta para guru kami di Gontor.
Beliau, KH. Dr. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA., hari ini Rabu, 4 Rabi’ul Awwal 1442 H / 21 Oktober 2020 M telah berpulang ke hadirat Allah Subhanallhu wa Ta’ala. Sebagai santri, kami masih sangat ingat setiap pesan dan petuah Antum, Kyai-ku. Di antara pesanmu yang akan selalu kami ingat adalah “Orang yang tidak mau apa-apa, tidak akan mendapat apa-apa, maka ia tidak akan bisa apa-apa, dan akhirnya pun, ia tidak akan jadi apa-apa”. Hal inilah yang memotivasi kami untuk berbuat, berjuang semaksimal mungkin di masyarakat melalui berbagai jenis profesi, li’ilaa-i kalimatillah.
Selain itu, kepada santri-santrinya, beliau juga sering berpesan bahwa “Siapapun yang hidup di Gontor harus mengalami proses kepemimpinan. Siap memimpin dan siap dipimpin dengan segala keikhlasannya”. Bahkan menurut beliau “Apabila dalam waktu 5 tahun atau 8 tahun, seorang pemimpin tidak ada prestasi, berarti dia tidak pernah ada kerja keras”. Maka, tak heran tidak sedikit para anak didikmu yang telah berperan sebagai dai, pemimpin, pendidik, pengusaha yang sukses, baik pada tingkat daerah maupun nasional.
Selamat jalan Kiai Kami, atas dharma bakti untuk Bangsa dan Negara ini, Keikhlasan Antum mewaqafkan diri untuk Darussalam Kampung yang Damai, serta segala upaya Antum berkhidmat kepada ummat insha Allah akan menjadi Amal Jariah di kehidupan selanjutnya. Amiin ya Rabbal’alamin.
Lahu Al-Fatihah.
Rusnadi Ali Kasan
Santri Gontor Tahun 1995-1997
Video Ustadz Syukri Saat Meresmikan Auditorium Gontor Kampus 4 Banyuwangi
UJIAN MEMBENTUK SANTRIWATI SHOLIHAH
MANTINGAN – (25/10/20) Setelah menjalani masa belajar efektif selama kurang lebih lima bulan, kini telah tiba saat ujian bagi seluruh penghuni pondok. Dikatakan seluruh penghuni pondok, karena pada masa ujian, baik lisan maupun tulis, seluruh penghuni pondok mulai dari guru, santri, bahkan pekerja diuji. Para santri diuji pemahamannya tentang materi yang telah dipelajari selama satu semester ini, sedangkan para guru diuji dengan cara menjadi penguji serta pengawas. Selain itu, ujian di Gontor tidak hanya meliputi ujian dalam bidang akdemik, namun juga akhlak.
Dalam pelaksanaan ujian, setiap kelas diisi kurang lebih 40 santri., tempat duduk santri diacak sehingga tidak ada santri yang duduk sebangku dengan teman seangkatannya. Selain itu, adanya empat sampai lima orang pengawas yang terdiri dari bebrapa ustadzah dan santri kelas 6 semakin memperketat pengawasan terhadap setiap santri. Hal ini dilakukan untuk menghindari kecurangan dalam bentuk apapun ketika ujian.
“Al Imtihaanu li-atta’allum laysa atta’llum lil Imtihaan” Kalimat yang seringkali diucapkan Bapak Pengasuh ini memang tepat untuk menggambarkan suasana ujian di Gontor, karena dengan ujian santri tidak hanya mengetahui kemampuan mereka kita dalam memahami pelajaran, tapi juga membentuk kepribadian santri sehingga dapat menjadi muslimah sholihah. hann