Home Blog Page 86

Menyucikan Diri Dengan Berpuasa

0

Kuliah Shubuh pada hari Ahad, 16 Ramadhan 1443 H/17 April 2022 di Masjid Jami’ Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) disampaikan oleh Al-Ustadz H. Umar Sa’id Wijaya, M.Pd. Pada kuliah subuh ini, beliau menyampaikan materi yang berkenaan tentang menyucikan diri dengan berpuasa di bulan Ramadhan.

 

Di awal kuliah, beliau menyampaikan bahwa di bulan suci Ramadhan ini kita dapat menemukan berbagai macam ibadah untuk dikerjakan, dimana ibadah utama pada bulan ini adalah berpuasa.

 

Kemudian Al-Ustadz Umar Said Wijaya memaparkan makna puasa secara umum dan khusus.

“Berpuasa secara umum artinya menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Adapun puasa secara khusus artinya, menahan diri untuk tidak melakukan maksiat.” Jelas beliau dalam kuliahnya

 

Ibadah puasa sejatinya tidak hanya menahan fisik dari hawa nafsu saja. Dalam berpuasa kita juga harus menahan hati dari sifat iri, dengki, hasad, dan segala maksiat yang dapat merusak kesempurnaan ibadah puasa kita. Begitulah seyogyanya seorang muslim berpuasa, yaitu tidak hanya menahan diri dari lapar dan haus saja, namun otak, hati, dan jiwanya juga ikut berpuasa untuk tidak bermaksiat kepada Allah Subhanallahu wa ta’ala.

 

Ibadah puasa memiliki kekuatan untuk menyucikan diri kita, sehingga selepas bulan suci Ramadhan ini kita bersih dari dosa seperti seorang bayi yang baru lahir. Dikutip dari kitab Shahih Bukhari, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, bahwa seorang muslim yang berpuasa di bulan Ramadhan akan mendapat ampunan dari dosa-dosanya yang telah berlalu.

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (Sahih Bukhari Vol.3 Kitab 32 No. 231)

 

Beliau berpesan kepada seluruh santri dan guru yang menghadiri jamaah Subuh di masjid Jami’ PMDG bahwasanya bulan Ramadhan ini merupakan momentum yang tepat untuk menjadi pribadi yang lebih baik, semoga di bulan suci Ramadhan ini kita mendapat ampunan dari Allah Subhanallahu wa ta’ala, Aamiin ya Rabbal ‘aalamiin. Alif dan Rizqon

 

Disarikan dari Kuliah Shubuh yang diisi oleh Al-Ustadz H. Umar Said Wijaya, M.Pd. di masjid Jami’ Pondok Modern Darussalam Gontor

 

Baca Juga:

Mulia Dengan Alquran

Kemuliaan Bulan Ramadhan

Mudaarasatu-l-Quran; Bagian dari Ibadah

Mulia Dengan Alquran

0

Kuliah Shubuh di Masjid Jami’ Pondok Modern Darussalam Gontor pada hari Kamis, 13 Ramadhan 1443 H/14 April 2022 M diisi oleh Al-Ustadz Dr. Sujiat Zubaidi, M.A. Pada kuliah pagi ini, beliau menjelaskan terkait sesuatu itu akan menjadi mulia dengan Alquran.

Di awal kuliah, beliau menjelaskan bahwa bulan Ramadhan ialah bulan yang mulia. Terhadapnya, umat Islam selalu berlomba-lomba dalam kebaikan. Dan juga terdapat banyak nama lain untuk menyebut bulan Ramadhan, salah satunya ialah Syahru-l-Quran.

Dikutip dari salah satu ayat dalam QS. Al-Baqarah ayat 185 yang artinya:

Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang bathil)…” (QS. Al-Baqarah : 185)

Berangkat dari ayat tersebut, kita mengetahui bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menerangkan  tanda-tanda kekuasaan-Nya dengan menurunkan Alquran  kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, melalui perantara malaikat Jibril, di dalam Gua Hira’, pada bulan Ramadhan.

Sehingga, hal-hal yang berkaitan dengan Alquran, pasti dijadikan mulia oleh Allah Ta’ala. Nabi yang menerima wahyu (Alquran) ini, menjadi nabi yang paling mulia. Malaikat yang menjadi perantaranya, menjadi malaikat yang memiliki posisi yang mulia. Bulan di mana diturunkannya Alquran, menjadi bulan yang paling mulia, dan lagi malam diturunkannya menjadi malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Alquran ini, terang beliau, adalah pedoman hidup dan ajaran dari segala macam ajaran, semuanya tertera di dalam Alquran. Sebagai contoh, dalam bidang sosial atau bermasyarakat, beliau mengambil salah satu ayat dalam QS Al-Fatihah yaitu ayat ke-5 yang berbunyi:

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنَ

Artinya:

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan” (QS. Al-Fatihah : 5)

Di dalam ayat tersebut, disebutkan kata-kata “kami” yang maknanya adalah jamak (orang banyak). Artinya, Islam lewat Alquran mengajarkan kepada kita untuk selalu bersosialisasi, mencari teman, dan terus mengajak dalam kebaikan. Sebaliknya, Islam tidak pernah mengajarkan seorang muslim untuk sendiri saja.

Oleh karena itu, di akhir kuliah beliau menyampaikan, umat Islam sebagai orang-orang yang diamanatkan dengan Alquran, perlu untuk mentadabburinya. Tidak hanya sekedar membacanya saja, namun juga mempelajarinya agar termasuk orang-orang yang mulia juga. Aamiin. Abdurrahman

Disarikan dari Kuliah Shubuh yang diisi oleh Al-Ustadz Dr. Sujiat Zubaidi, M.A. di Masjid Jami’ Pondok Modern Darussalam Gontor

 

Related Articles:

Kemuliaan Bulan Ramadhan

Ramadhan; Momentum Peningkatan Diri

Dimensi Ketakwaan dan Pemanfaatannya di Bulan Ramadhan

Kemuliaan Bulan Ramadhan

0

Kuliah Shubuh pada hari Senin, 10 Ramadhan 1443 H/11 April 2022 di Masjid Jami’ Pondok Modern Darussalam Gontor diisi oleh Al-Ustadz H. Ismail Abdullah Budi Prasetyo. S.Ag. Pada kuliah pagi ini, beliau menyampaikan beberapa hadits yang berkenaan tentang kemuliaan bulan Ramadhan.

Di awal kuliah, sebelum memulai materinya, beliau mengajak para santri yang bermukim untuk selalu bersyukur, karena telah sampai pada hari kesepuluh dalam bulan Ramadhan ini. Jika dalam bulan puasa Ramadhan ini tujuannya adalah untuk mencapai tingkatan takwa, maka adanya kuliah shubuh ini adalah sebagai kesempatan yang langka untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan kuliah shubuh ini, ilmu dan pemahaman para santri akan meningkat setiap harinya.

Setiap kesempatan merupakan percepatan untuk sampai kepada tujuan…

Dikutip dari Kuliah Shubuh di Masjid Jami’ PMDG yang disampaikan oleh Al-Ustadz H. Ismail Abdullah Budi Prasetyo.

Hadits yang pertama beliau sampaikan, dikutip dari HR Muslim no. 1079 dari kitab Shahih Muslim, yaitu:

Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Jika datang bulan Ramadhan pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu” (HR. Muslim no. 1079)

Kenapa pintu-pintu surga akan dibuka? Karena di bulan ini, umat islam meningkatkan ibadahnya; bertambah kualitasnya dan bertambah kuantitasnya. Beliau mencontohkan, yang biasanya seorang muslim mendirikan shalat sunnah dengan membaca ayat-ayat yang pendek, ia akan membaca ayat-ayat yang lebih panjang, yang biasanya ia shalat sunnah Dhuha 2 rakaat, ia akan menambahnya menjadi 4 atau 6 rakaat, dst. Sehingga hal ini juga yang menyebabkan ditutupnya pintu Neraka dan setan-setan seakan dibelenggu.

Kemudian, hadits yang kedua, diriwayatkan dari Imam Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari hadits no. 1894, yaitu:

Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Puasa itu adalah perisai” (HR. Bukhari no. 1894)

Perisai di sini, maksudnya adalah pelindung. Berangkat dari hadits tersebut, dapat diperoleh penjelasan bahwa puasa ini berfungsi untuk melindungi seseorang dari hawa nafsunya. Hal ini akan menjadikan orang tersebut mengurangi hingga menghindari dari segala perbuatan yang mengarah pada kemaksiatan terhadap Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh beliau.

Sebagai penutup, di akhir kuliah, beliau mengajak para santri untuk memanfaatkan bulan Ramadhan ini berikut kemuliaan-kemuliaannya, sebagai bekal nantinya dalam menghadapi masa yang akan datang. Dengan menyebut nama Allah Ta’ala (Bismillah) kita memulai segala perbuatan kita. Dan kata-kata “Bismillah” ini harus kita resapi, dengan apa? Dengan terus mengerjakan kebaikan dan menghindari keburukan terutama setelah mengetahui kemuliaan-kemuliaan yang ada di bulan suci Ramadhan ini. Abdurrahman

Disarikan dari Kuliah Shubuh yang diisi oleh Al-Ustadz H. Ismail Abdullah Budi Prasetyo, S.Ag. di Masjid Jami’ Pondok Modern Darussalam Gontor

 

Related Articles:

Mudaarasatu-l-Quran; Bagian dari Ibadah

Ramadhan; Momentum Peningkatan Diri

Dimensi Ketakwaan dan Pemanfaatannya di Bulan Ramadhan

Mudaarasatu-l-Quran; Bagian dari Ibadah

0

Kuliah Shubuh pada hari Sabtu, 8 Ramadhan 1443 H/9 April 2022 M di Masjid Jami’ Pondok Modern Darussalam Gontor, pada kesempatan pagi ini diisi oleh Al-Ustadz H. Nazeeh M. Subari, Lc. Beliau memulai kuliahnya dengan ulasan ulang sedikit terkait apa yang telah disampaikan pada kuliah-kuliah sebelumnya tentang kemuliaan bulan Ramadhan ini. Apa yang akan beliau sampaikan pada kuliah kali ini bertemakan mudaarasatu-l-quran.

Bulan Ramadhan ini, terang beliau, selain dipenuhi oleh kemuliaan-kemuliaan yang tidak akan didapat di bulan lain, juga merupakan bulan diturunkannya Alquran, dalam QS. Al-Baqarah ayat 185 Allah ta’ala berfirman yang artinya:

Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang bathil)…” (QS. Al-Baqarah : 185)

Dari ayat inilah, umat islam selalu bergembira dalam menyambut bulan Ramadhan, mengapa? Karena di dalamnya diturunkan Alquran yang menjadikan bulan ini mulia. Bagaimana umat islam mengungkapkan kegembiraan mereka? Dengan banyak bersedekah, beribadah, berbuat baik kepada sesama, dan juga talabul-‘ilmi.

Mengingat bulan Ramadhan ini ialah bulan diturunkannya Alquran, maka beliau menyampaikan bahwa Ramadhan ini juga merupakan bulan mudaarasatu-l-quran. Apa itu mudaarasah? Ialah al-qiraa’ah (membaca) dan ad-diraasah (mempelajari). Sehingga jika kata mudaarasah ini dikaitkan dengan kata Alquran, maka maksudnya adalah qiraa’atu-l-quran wa diraasatuhu (Membaca alquran dan mempelajarinya).

Qiraa’atu-l-quran artinya adalah membacanya siang dan malam, yang mana ini termasuk ibadah bagi seorang muslim. Kemudian diraasatu-l-quran maksudnya adalah mempelajarinya dengan urutan; membacanya, menghafalnya, memahaminya, untuk setelahnya men-tadabbur-i dan mengamalkannya. Berangkat dari penjabaran yang beliau sampaikan seperti tersebut di atas, mudaarasatu-l-quran dapat dikategorikan sebagai talabu-l-‘ilmi (Menuntut ilmu).

Talabu-l-‘ilmi di sini juga merupakan bagian dari ibadah, kenapa demikian? Karena ibadah itu adalah segala amalan yang dapat mendekatkan diri seorang muslim kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Dan sebagaimana yang diketahui, di dalam talabu-l-‘ilmi, seseorang berusaha dan berjibaku dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Dan hal ini, beliau menambahkan, kembali kepada niat orang itu tadi.

Allah Subhaanahu Wa Ta’ala telah memuliakan bulan Ramadhan ini dengan diturunkannya Alquran. Maka, di akhir ceramah beliau menyampaikan, sudah sepatutnya bagi umat islam agar dapat memanfaatkan momen yang mulia ini sebagai mudaarasatu-l-quran sebagaimana yang telah beliau jelaskan tersebut di atas, agar kita sebagai umat islam tidak termasuk di dalam hamba-hambaNya yang kufur terhadap nikmatNya. Na’udzubillah.Abdurrahman

Disarikan dari Kuliah Shubuh yang diisi oleh Al-Ustadz H. Nazeeh M. Subari, Lc. di Masjid Jami’ Pondok Modern Darussalam Gontor

 

Related Articles:

Ramadhan; Momentum Peningkatan Diri

Dimensi Ketakwaan dan Pemanfaatannya di Bulan Ramadhan

Rukun Syukur; Bekal untuk Menyambut Hari Esok

Ramadhan; Momentum Peningkatan Diri

0

Kuliah Shubuh di Masjid Jami’ Pondok Modern Darussalam Gontor pada hari Jumat, 7 Ramadhan 1443/8 April 2022 disampaikan oleh Al-Ustadz H. Muhammad Hanif Hafidz, S.Ag. Beliau mengajak para jama’ah untuk mensyukuri nikmat Allah Subhaanahu Wa Ta’ala yang berbentuk tiga macam; nikmat iman, nikmat islam, dan nikmat kesehatan.

Dengan iman, jika sudah menempel pada diri seorang muslim maka segala amalan yang diperbuatnya akan lancar dan ringan. Karena keimanan inilah yang akan membimbing dan mengawal setiap muslim. Kemudian islam, ajaran islam berisikan syariat-syariat atau tuntunan dalam beribadah kepada Allah, dengannya jelaslah jalan yang kita tempuh. Yang terakhir, kesehatan merupakan nikmat yang sangat berharga, dengannya kita bisa melaksanakan ibadah dengan baik.

Melanjutkan pembahasan nikmat yang akan berefek pada ibadah tadi, beliau menjelaskan bahwa jika hidup ini diibaratkan dengan perjalanan dari Ponorogo ke Jakarta, mungkinkah kita berangkat tanpa berhenti? Pastinya kita akan berhenti di suatu tempat, anggaplah terminal, untuk sekedar menghela nafas sejenak. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala telah memberikan kepada kita terminal-terminal-Nya agar hamba-Nya dapat beristirahat, apanya yang beristirahat? Hatinya, bagaimana cara hati beristirahat? Dengan ibadah.

Terminal yang pertama, ialah “Terminal Harian” yaitu melalui shalat fardhu 5 waktu setiap harinya, sehingga adanya adzan di setiap waktunya ini sebagai pengingat harian dari Shubuh hingga Isya’. Yang kedua, ada “Terminal Mingguan” yaitu Shalat Jumat di setiap minggunya. Kemudian, yang ketiga “Terminal Bulanan” yang mana di setiap bulannya dalam tahun Hijriyah terdapat keutamaan tersendiri, contoh: Rajab, Syawwal, dll. Dan yang terakhir adalah “Terminal Tahunan” yaitu bulan suci Ramadhan.

Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan kepada kita bulan Ramadhan ini setiap tahunnya, agar dapat dijadikan sebagai momentum peningkatan diri seorang muslim. Bulan Ramadhan ini, ungkap beliau, dapat diibaratkan seperti halnya kepompong yang di dalamnya terdapat fase perubahan dari ulat menjadi kupu-kupu.

Tahukah ulat? Terhadap ulat, orang-orang biasanya merasa jijik dan tidak suka bahkan takut dan menjauhinya. Beda halnya dengan kupu-kupu, ia adalah serangga yang indah, beragam warnanya, dan banyak orang yang menyukainya. Mungkin di hari-hari sebelum Ramadhan ini, seseorang sering berbuat maksiat, sering lalai akan shalatnya, dll. ibarat ulat yang banyak orang tidak suka tadi. Setelah melalui fase kepompong di bulan Ramadhan ini, orang itu dapat berbenah diri sehingga yang semula diibaratkan seperti ulat tadi, dapat berubah menjadi kupu-kupu yang indah, yaitu pribadi yang lebih baik lagi.

Untuk itu, di akhir kuliah beliau menyampaikan, agar setiap muslim dapat memanfaatkan bulan suci ini sebaik-baiknya dengan memperhatikan empat hal; Fisik, Pikiran (Ilmu), Ruh, dan Maal (Harta). Jadikan Ramadhan ini sebagai peningkatan diri yaitu menjadikan fisik kuat, ilmu bertambah, ruh terjaga, dan harta dapat disedekahkan.Abdurrahman

Disarikan dari Kuliah Shubuh yang diisi oleh Al-Ustadz Muhammad Hanif Hafidz, S.Ag. di masjid Jami’ Pondok Modern Darussalam Gontor

 

Related Articles:

Dimensi Ketakwaan dan Pemanfaatannya di Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan, Momentum Pembersihan Diri dari Penyakit Hati

Dimensi Ketakwaan dan Pemanfaatannya di Bulan Ramadhan

0

Kamis, 6 Ramadhan 1443 H/7 April 2022 M dalam acara Kuliah Shubuh yang diisi oleh Al-Ustadz Dr. Mulyono Jamal, M.A. di Masjid Jami’ Pondok Modern Darussalam Gontor. Di dalam kuliahnya kali ini, beliau mengusung tema tentang tingkatan takwa atau dalam istilah beliau, Dimensi Ketakwaan.

Poin pertama yang disampaikan kepada jama’ah shalat shubuh Masjid Jami’, yang terdiri dari santri kelas 5 dan 6 serta beberapa asatidz PMDG ketika itu, ialah tentang rasa syukur. Syukur karena masih diberi kesempatan untuk merasakan bulan Ramadhan di tahun ini. Dan berdoa semoga masih diberi kesempatan untuk merasakan Ramadhan di tahun yang akan datang.

Rasa syukur ini dapat diwujudkan dengan pemanfaatan nikmat bulan Ramadhan tadi, melalui amalan-amalan sholeh yang dilakukan atas dasar ketakwaan kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Dikutip dari ayat yang menjelaskan tentang puasa, yaitu QS. Al-Baqarah ayat 183, terdapat 3 kata kunci penting, antara lain: آمنوا (Iman), الصيام (Puasa), dan تتّقون (Takwa). Di surat yang sama yaitu pada ayat 21, kata beliau, ada 2 kata kunci: اعبدوا (Sembahlah) dan تتّقون (Takwa). Berangkat dari kata-kata kunci tersebut, yang dapat disimpulkan adalah bahwa puasa itu berlandaskan iman dan bertujuan untuk takwa, juga semua jenis persembahan kepada Allah (Ibadah) juga untuk takwa.

Berbicara mengenai takwa, yang menjadi tujuan dari seluruh ibadah ini, terdapat banyak sekali ayat yang menjelaskannya. Namun di dalam kuliah shubuh kali ini, beliau mengutip dua diantaranya, yaitu di dalam QS. Ali Imran ayat 102 disebutkan:

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim” (QS. Ali Imran : 102)

Dan juga QS. Al-Hujurat : 13

“…Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa…” (QS. Al-Hujurat : 13)

Dari dua ayat di atas, dapat diketahui bahwasanya dalam ketakwaan, ada yang disebutkan di Al-Quran sebagai “sebenar-benar takwa” dan ada juga “yang paling bertakwa”. Oleh sebab itu, takwa di sini memiliki tingkatan atau dimensi; ada yang di posisi pertama (yang paling), posisi kedua (lebih dari), dan posisi ketiga (biasa). Lantas, seperti apakah pembagian takwa ini?

Di dalam hadits riwayat Imam Bukhari yang diambil dari kitabnya, Shahih Bukhari, dari Abu Hurairah r.a., dia menceritakan ketika datang seseorang (yang ternyata ia adalah Jibril) bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam tentang 3 hal, “apa itu Iman?…apa itu Islam?…apa itu Iman?…” (HR. Bukhari no. 50).  3 hal yang disebutkan dalam hadits di atas inilah yang, kata beliau, merupakan dimensi ketakwaan.

Urutan yang paling bawah atau nomor tiga adalah “Islam”, kemudian di atasnya nomor dua “Iman” dan terakhir yang paling atas adalah “Ihsan”. Ketika seseorang mengerjakan suatu amalan dengan beralaskan tuntutan, maka tingkatannya dalam dimensi takwa baru sebatas “Islam” saja, artinya ia telah mengerjakan rukun islam, namun hanya di situ saja. Lain halnya dengan orang yang mengerjakan amalan dan yakin bahwasanya itu bukanlah tuntutan melainkan perintah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, maka ia sudah berada dalam tahap “Iman”, yaitu melaksanakan amalan dengan penuh keyakinan akan rukun iman. Kemudian, jika ia mengerjakan amalan seakan-akan ia melihat Allah, bagaikan pekerja yang dilihat oleh atasannya, ia akan totalitas dan sungguh-sungguh dalam amalannya, tingkatan inilah yang disebut sebagai “Ihsan”.

Di akhir kuliah, beliau menyampaikan tentang bagaimana kita dapat meningkatkan dimensi ketakwaan kita di bulan Ramadhan ini? Yaitu dengan cara selalu meningkatkan kualitas ibadah dan amalan-amalan shaleh lainnya, sehingga seorang muslim dapat memanfaatkan momen Ramadhan ini sebagai ajang peningkatan kualitas diri dan ibadahnya.Abdurrahman

Disarikan dari Kuliah Shubuh yang diisi oleh Al-Ustadz Dr. Mulyono Jamal, M.A. di masjid Jami’ Pondok Modern Darussalam Gontor

 

Related Articles:

Rukun Syukur; Bekal untuk Menyambut Hari Esok

Santri; Pemuda Masa Kini, Tokoh Besar di Masa yang Akan Datang

Kuliah Shubuh: Takwa dan Hawa Nafsu

Rukun Syukur; Bekal untuk Menyambut Hari Esok

0

Kuliah Shubuh di Masjid Jami’ Pondok Modern Darussalam Gontor pada hari Rabu, 5 Ramadhan 1443 H/6 April 2022 M disampaikan oleh Al-Ustadz Noor Syahid, M.Pd.I. Beliau mengutip ayat ke-21 dan 22 dalam Q.S. Al-Baqarah yang artinya:

Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah: 21-22)

Dari ayat tersebut, makna tersirat yang terkandung di dalamnya adalah dalam mensyukuri nikmat Allah Subhaanahu Wa Ta’ala hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain: pertama, mengetahui asal nikmat; kedua, jangan menyekutukan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala; ketiga, tentang pemanfaatan rezeki; keempat, memikirkan kalau saja kita tidak diciptakan di dunia ini.

Keempat hal ini, beliau menyebutkan, adalah “Rukun Syukur” yang patut dilakukan oleh seorang hamba dalam mensyukuri nikmat-Nya. Keempat hal ini selaras dengan poin Ma’rifatu-l-Allah (Mengetahui atau Mengenali Allah). Dalam rangka mensyukuri nikmat Allah, pastinya kita harus mengenali, siapa Allah itu?

Salah satu cara untuk mengenali Allah selain dengan rukun syukur ini, kata beliau, adalah dengan melaksanakan shalat shubuh. Banyak hadits dan catatan yang menjelaskan tentang keutamaan dari waktu shubuh ini. Beliau menambahkan, ada sekitar 17 kemuliaan yang akan didapat hamba-Nya. Diantaranya: waktu shubuh merupakan waktu terkabulnya doa (HR. Bukhari no. 1145), kemudian shalat shubuh adalah salah satu penyebab hamba-Nya untuk masuk Syurga dan penghalang masuk Neraka (HR. Bukhari no. 574 dan Muslim no. 635), pahala dari shalat shubuh ini seperti orang yang melaksanakan shalat sepanjang malamnya (HR. Muslim no. 656), dan masih banyak lagi.

Di akhir kuliah, beliau menambahkan, rasa syukur yang kita panjatkan kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala ini sebagai penyongsong untuk menyambut hari esok. Hari esok ini terbagi menjadi dua; yang dekat dan yang jauh. Yang dekat, adalah siang di hari ini. Yang jauh, adalah hari ketika di masyarakat kelak.

Sebagaimana dilansir dari pesan K.H. Ahmad Sahal yang berisi harapan, agar nantinya para alumni PMDG dapat menjadi imam (atau manusia yang bermanfaat) di masyarakat kelak. Maka, sebagai perwujudan dari harapan Trimurti pendiri PMDG ini, hendaklah kita selalu bersyukur akan segala nikmat Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.Abdurrahman

Disarikan dari Kuliah Shubuh yang diisi oleh Al-Ustadz Noor Syahid, M.Pd.I di Masjid Jami’ Pondok Modern Darussalam Gontor

 

Related Articles:

Santri; Pemuda Masa Kini, Tokoh Besar di Masa yang Akan Datang

Bulan Ramadhan, Momentum Pembersihan Diri dari Penyakit Hati

Bekali Santri Jiwa Qur’ani, PMDG Adakan Tahsinu-l Qira’ah.

Nasihat Ujian Lisan, Kiai Akrim: “Ujian Lisan Membentuk Mental Santri”

0

RIMBO PANJANG – Pondok Modern (PM) Darussalam Gontor Putri Kampus 7 mengikuti pengarahan dan pesan nasihat terkait pelakasanaan ujian lisan semester kedua melalui zoom meeting bersama Bapak Pimpinan PM Gontor beserta seluruh pondok cabang, Ponorogo, Kamis (17/2/22), Pagi.

Al Ustadz Akrim Mariyat, Pimpinan PMDG Pusat Ponorogo menyampaikan bahwa ujian lisan merupakan wadah untuk membentuk mental santri lebih berani; berani menghadapi para penguji dan membangun jiwa optimisme; optimis dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan. “Ujian lisan membentuk mental santri, mental lebih berani dan mental lebih optimis,” ucap kiai Akrim Mariat dalam pesan dan nasehat ujian lisan via zoom meeting. Tegar

Santri; Pemuda Masa Kini, Tokoh Besar di Masa yang Akan Datang

0

Kuliah Shubuh di Masjid Jami’ PMDG pada hari Selasa, 4 Ramadhan 1443/5 April 2022 disampaikan oleh Al-Ustadz Dr. K.H. Ahmad Hidayatullah Zarkasyi, M.A.. Beliau mengungkapkan rasa cintanya yang sangat mendalam kepada para santri, bahwa meskipun mereka tertatih dalam menimba pendidikan di pondok ini, namun semua itu demi kebaikan mereka nanti ketika sudah berada di masyarakat dan akan membawa perubahan bagi lingkungan sekitarnya.

 

Di awal kuliah, beliau menerangkan bahwa para santri yang sekarang masih merupakan pemuda, ketika sudah dewasa nanti akan menjadi ‘singa jantan’ yang siap mengabdi kepada masyarakat. Julukan tersebut tidak semata-mata disebutkan tanpa alasan, melainkan datang dari beberapa tamu yang dahulu pernah berkunjung. Di antaranya adalah K.H. Wahid Hasyim, yang merupakan sahabat karib dari salah satu Trimurti pendiri pondok, K.H. Imam Zarkasyi.

 

Berangkat dari penjelasan tersebut, beliau melanjutkan bahwa sebagai seorang pemuda yang akan menjadi tokoh di masyarakat nantinya, maka harus mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin dan memiliki bekal sebanyak-banyaknya. Apapun pekerjaan yang akan dilakukan, semua itu haruslah berorientasi kepada akhirat dan diniatkan ikhlas lillahi ta’ala. Ketika seorang hamba mampu mendasarkan setiap perbuatannya dengan keikhlasan, maka yang demikian akan dihitung sebagai ibadah dan mendapatkan pahala dari Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Sebab ibadah itu tidak hanya terbatas pada amalan-amalan dan ritual tertentu saja, melainkan semua perbuatan kita yang didasari dengan niat yang ikhlas.

 

Poin tersebut senada dengan salah satu nilai pondok yang dikutip dari perkataan K.H. Imam Zarkasyi, yang kemudian dijelaskan oleh Ustadz Hidayatullah. “Kalau kamu menuju yang jauh, maka yang dekat akan terlampaui. Kalau menuju Jakarta, Madiun Ngawi akan terlewati. Maka kalau menuju akhirat, dunia juga akan kamu raih,” jelas beliau di depan para santri.

 

Namun, mempertahankan diri untuk istiqomah dalam niat lillah tentunya tidak mudah. Ketika orientasi kita tertuju kepada akhirat, selalu ada banyak godaan yang menghalangi. Dan godaan tersebut seringkali datang dari setan, karena itulah beliau juga menekankan tentang pentingnya berwaspada terhadap godaan apapun yang mampu merusak pahala dari amalan-amalan yang dikerjakan setiap hari. Memaksa diri untuk bersabar, tabah, serta menguatkan diri. Tidak lupa, beliau juga mencontohkan teladan dari para nabi dan rasul yang menghadapi berbagai masalah di dalam hidup dengan beberapa amalan, seperti berdzikir dan membaca doa-doa.zahrulmuhsinin

 

Disarikan dari Kuliah Shubuh yang diisi oleh Al-Ustadz Dr. K.H. Ahmad Hidayatullah Zarkasyi, M.A. di Masjid Jami’ Pondok Modern Darussalam Gontor

 

Related Articles:

Bulan Ramadhan, Momentum Pembersihan Diri dari Penyakit Hati

Dengan Ilmu Al-Qur’an dan Ilmu Sains, Santri Saintis Siap Membangun Peradaban Islam

Kembali Melanjutkan Belajar, Santri Luar Negeri Tiba di Tanah Air

Bulan Ramadhan, Momentum Pembersihan Diri dari Penyakit Hati

0

Kuliah Shubuh di Masjid Jami’ PMDG pada Senin, 3 Ramadhan 1443/4 April 2022 disampaikan oleh Al-Ustadz H. Imam Shobari, S.Ag.. Beliau menyampaikan kuliah tentang penyakit-penyakit yang seringkali melanda hati manusia dan menekankan pentingnya pembersihan diri dari segala penyakit tersebut dalam momentum puasa di bulan Ramadhan.

 

Beliau membuka kuliah dengan sedikit penjelasan tentang bagaimana para Trimurti pendiri pondok menjadi contoh akan pengorbanan dan perjuangan yang luar biasa. Bondho, Bahu, Pikir, bahkan sampai siap mengorbankan nyawa demi pondok ini. “Wa laa tamuutunna illaa wa antum muslimun. Pasrah kepada Allah itu sampai darah penghabisan, dan ujiannya banyak. Jangan sampai iman kita kalah ketika dihadapkan dengan perkara dunia; contohnya seperti harta,” papar beliau.

 

Penjelasan tersebut diikuti dengan penekanan beliau bahwa puasa di bulan Ramadhan adalah momentum untuk menguatkan hati, supaya hati kita tidak mati. Dan matinya hati ini disebabkan oleh banyak penyakit-penyakitnya.

 

Di antaranya, Riya’, yaitu ketika seseorang melakukan perbuatan baik karena ingin dilihat atau ingin dipuji. Ketika tidak mendapatkan pujian, maka ia tidak ikhlas.

 

Yang kedua, sum’ah, yaitu ketika seseorang ingin agar perbuatannya terdengar sampai ke telinga orang lain. Hal ini ditujukan supaya orang-orang tahu akan kelebihan yang ia miliki.

 

Ketiga, ‘Ujub, yaitu merasa bangga dengan kelebihan-kelebihan yang ada pada dirinya dan tidak mampu dimiliki oleh orang lain.

 

Lalu keempat, Fakhr, yaitu berbangga dengan apa yang ia miliki; baik itu harta, tahta, ataupun kelebihan lainnya.

 

Kelima, Ikhtiyal, yaitu keinginan agar tidak tersaingi oleh orang lain. Ada pula Tasahul (menganggap enteng orang lain), Ananiyah (egois), Syuhh (kikir), dan lain sebagainya.

 

Semua penyakit hati tersebut dapat merusak pahala amalan-amalan yang kita perbuat. Karena itu, beliau menganjurkan bagi siapapun yang merasakan indikasi penyakit-penyakit hati seperti dijelaskan di atas agar segera beristighfar. Bersikap mawas diri, tidak lengah dengan amalan yang diperbuat, tapi selalu waspada terhadap amalan tersebut serta memastikan bahwa semuanya sudah didasari atas keikhlasan. Terutama di bulan Ramadhan yang mulia, diharapkan bahwa dengan berpuasa mampu menjadi titik tolak untuk membersihkan diri dari penyakit hati tersebut, dan menjadikan diri ini sebagai pribadi yang selalu ikhlas dalam segala perbuatan dan amal saleh.zahrulmuhsinin

 

Disarikan dari Kajian Shubuh yang diisi oleh Al-Ustadz H. Imam Shobari, S.Ag. di Masjid Jami’ Pondok Modern Darussalam Gontor

 

Related Articles:

Kuliah Shubuh: Takwa dan Hawa Nafsu

Kuliah Shubuh: Bimbingan Jiwa, Santapan Otak, serta Tuntunan Akhlak dan Budi

MENGUAK SUMBER ENERJI KIAI SYUKRI SECARA KECERDASAN HATI