Home Blog Page 139

Perjuangan Santri dan Pesantren; Refleksi Nilai Sumpah Pemuda

0

“NKRI; Harga Mati, Sampai Mati!”

 

Begitulah bunyi kutipan pidato yang disampaikan oleh K.H. Hasan Abdullah Sahal, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) saat menerima kunjungan Wakil Presiden Republik Indonesia, Dr. Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla pada hari Kamis, 3 Oktober 2019 lalu. Kunjungan tersebut dalam rangka peresmian Menara Masjid Jami’ PMDG dan gedung Centre for Islamic Economic Studies (CIES) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor.

 

Dalam pidato beliau menyambut rombongan tamu kehormatan tersebut, banyak sekali poin-poin penting yang merefleksikan jiwa nasionalisme dan kebangsaan yang dimiliki oleh para santri dan warga pesantren. Semangat juang yang disuarakan, nafas keikhlasan, prinsip anti penjajah dan penjajahan, seakan mengalir dalam rangkaian pidato yang beliau bawakan di depan seluruh hadirin. Dan kita, warga Indonesia, khususnya para alumni pesantren yang menjunjung tinggi jiwa kesantrian serta nilai keislaman, haruslah bercermin dan mengambil banyak pelajaran dari kutipan pidato semacam itu.

 

Berikut nilai-nilai kandungan Sumpah Pemuda yang diwarisi oleh pesantren dan para santri yang bisa kita intisarikan dari kutipan pidato beliau:

 

  1. Perjuangan Membela Bangsa dan Negara

Sebagai warga negara Indonesia, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk membela Republik Indonesia dari segala yang berpotensi merenggut kemerdekaannya. Dan semangat ini telah ditanamkan sejak dini ke dalam diri para santri; bahwa mereka dididik untuk menjadi mundziru-l-qaum serta kader pemimpin umat yang nantinya akan terjun ke masyarakat, menjadi agen-agen untuk mendidik dan mencerdaskan bangsa. Bila para tentara melawan penjajah yang datang dari bangsa lain, maka pondok pesantren melawan kebodohan yang menjajah anak-anak bangsa. “Pondok ini (dan pesantren pada umumnya _red) sejak sebelum kemerdekaan, bersama negara Republik Indonesia membina umat di dalam pendidikan.” jelas beliau.

 

  1. Nasionalisme dan Cinta Tanah Air

“Di pondok pesantren bukan hanya 4 pilar kebangsaan, tapi berpuluh-puluh pilar.”

Isi dari poin pidato beliau yang satu ini mengisyaratkan bahwa jiwa nasionalisme dan cinta tanah air sejatinya telah lama dimiliki oleh warga pesantren. Kiai dan para santri tidak seharusnya diajarkan tentang NKRI dan nasionalisme, sebab justru pesantren lah yang menjadi cikal bakal dari lahirnya nilai-nilai tersebut. Kehidupan yang sarat akan nilai-nilai keislaman, persaudaraan Ukhuwwah Islamiyyah, keikhlasan, bersatu dalam perbedaan, menjunjung tinggi musyawarah untuk maslahat umat, semuanya terangkum menjadi satu paket dalam kurikulum pesantren.

 

  1. Benteng Persatuan dan Keutuhan Bangsa

Pondok pesantren telah membersamai bangsa Indonesia dalam perjalanannya melawan penjajah dan penjajahan. Semangat persatuan, gotong royong, dan berkorban tanpa pamrih lah yang menjadi nafas perjuangan mereka, mengantarkan bangsa Indonesia hingga menjadi seperti saat ini dengan segala kekayaan dan kelebihannya. Tentu, warga pesantren tidak akan rela bila bangsa ini sampai dipecah-pecah, dikoyak-koyak atau bahkan dikotak-kotak, sebab mereka adalah saksi perjuangan Indonesia untuk bersatu dan menjauhi semua perselisihan tersebut bahkan sejak sebelum deklarasi kemerdekaan. “Yang berani mengoyak-ngoyak, akan langsung berhadapan dengan kita (warga pesantren). (Karena) kita membina NKRI sejak sebelum merdeka, sampai merdeka.” tegas beliau.

 

Demikianlah beberapa intisari yang dapat kita ambil. Semoga bisa menjadi pembelajaran bagi kita, di tengah-tengah peringatan Hari Sumpah Pemuda agar semakin memaknai arti perjuangan bangsa Indonesia pada masa penjajahan dulu, sehingga bisa menjadikan kita pribadi santri sumpah pemuda yang menjiwai nilai-nilai keislaman namun tidak lupa untuk menjunjung tinggi nasionalisme.

 

Full video Silaturahim Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla di Pondok Modern Darussalam Gontor:

Video Sambutan K.H. Hasan Abdullah Sahal: menit ke 1.08.58 – 1.19.40

 

Related Articles:

Puisi Kemerdekaan Karya Santri Gontor: Merah Putih Suci

Upacara Kemerdekaan Indonesia ke-75, Mengingatkan Akan Besarnya Perjuangan

Pendidikan Nasionalisme Dalam Demonstrasi Bahasa

Bhineka Tunggal Ika Internasional di Gontor Kampus 2

Kiai Syukri: Kamu itu Anak Macan

0

Kyai Syukri Dalam Kenangan Santrinya

Oleh:Hadiyanto Arief

Sore hari di akhir tahun 2006, di salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan saya mendapat kejutan tak terduga dari seorang yang saya tak pernah bayangkan sebelumnya.

Kyai Abdullah Syukri Zarkasyi, yang biasa dikenal santrinya di Gontor dengan panggilan Pak Syukri, datang berkunjung. Saat itu saya memang sedang mendapat giliran menjaga Ibunda yang sedang dirawat di RS tersebut. Ayah saya, Andin, begitu Kyai Syukri memanggilnya, memang bersahabat dengan Kyai Syukri. Selain adik kelas di Gontor, mereka juga sama2 diamanahi mengawal perjuangan Pesantren Darunnajah.

Kejutan waktu itu ada dalam bentuk permintaan Kyai Syukri yang tak biasa setelah kunjungan singkat tersebut. Ia mengambil kunci mobil sedannya dari supirnya dan menyerahkan kepada saya seraya berkata, “ayo, antar saya cari makan”.

Masih dalam kondisi terkejut, saya hanya menuruti apa permintaan beliau. Kuarahkan mobil yang kami kendarai ke sebuah restoran cepat saji di dekat rumah sakit tersebut..

Sambil menikmati hidangan cepat saji yang ia pesankan untuk kami berdua, kami mulai berbincang santai, perbincangan layaknya seorang anak dan ayahnya, perbincangan yang menjadi titik yang paling menentukan dalam hidup saya setelahnya.

Berbulan bulan sebelum kedatangan beliau ke RS tersebut, saya memang baru saja pulang dari Inggris setelah menyelesaikan kuliah master saya. Masa masa itu adalah momen dimana diri ini berada dipersimpangan besar. Galau memilih jalur yang harus ditempuh. Titik krusial dimana saya harus menentukan arah jalan yang diambil.

Ada dua pilihan terbentang, apakah akan memilih jalur profesi diluar di dunia hukum seperti yang diharapkan oleh Ibunda, ataukah memilih jalur berjuang di pesantren.
Almarhum Ibunda adalah seorang dokter lulusan PTN ternama di Jogjakarta yang bukan jebolan pesantren. Ia memang berpesan untuk diriku agar jangan pernah menggantungkan hidup di pesantren, dan justru kalau bisa mencari penghidupan diluar dan bisa membantu pesantren dari luar. Seperti yang bapak saya jalankan dengan profesi notarisnya. Begitulah mindset yang ada selama ini di fikiran beliau, pesantren itu tempat mengabdi, jangan gantungkan hidupmu disana.

Amanah Ibunda itulah yang menjadi alasan utama kenapa diri ini memilih jurusan Hukum di sebuah almamater Ibu di Jogjakarta tersebut. Berharap suatu hari bisa meneruskan profesi notaris Ayahanda atau minimal menjadi konsultan hukum di Ibukota. Profesi yang kira-kira sangat menjanjikan untuk jiwa muda yang tumbuh di Ibukota lulusan universitas ternama dan sedang mencari jati diri.

Kembali ke moment berdua dengan Kyai Syukri, moment singkat yang tak lebih dari satu jam bersamanya adalah moment yang membuat saya akhirnya mengambil keputusan besar untuk mengambil jalur yang tidak mudah.

Pembicaraan santai penuh makna di sebuah restoran cepat saji itu rupanya menjadi setruman kejutan nan dahsyat yang menyadarkan alam bawah sadar yang selama ini sebenarnya sudah beliau desain dan harapkan. Nilai-nilai perjuangan pondok yang disampaikan dengan gaya khas Soekarno-nya, berapi api yang biasa beliau sampaikan kepada santri di balai pertemuan dulu menyiram kesadaran diri layaknya air hujan yang mengguyur pohon yang layu ini.
Inti dari nasihat beliau sore ini terangkum dalam kalimat yang saya tak bisa lupakan saat hingga hari ini: “Kamu itu anak macan. Ditakdirkan mengurus urusan besar. Urusan ummat. Jangan kau rendahkan dirimu mengurus hal keduniawiaan yang tidak terkait dengan kepentingan ummat”.

Kata-kata yang beliau sampaikan sore itu membangunkan memori di kepala terkait nasihat-nasihat terkait nilai nilai perjuangan yang sering beliau sampaikan kepada seluruh santri dulu. Terlintas jelas dikepala kritik keras untuk lembaga pesantren yang diwakafkan kakekku, yang beliau sempat sampaikan di depan seluruh santri tahun 1995 saat saya duduk di kelas 5 TMI, “Keikhlasan sudah berkurang di pondok itu, biar dia yang memperbaiki!”

Pesan yg disampaikan puluhan tahun lalu itu menemukan konteksnya sore itu. Percakapan itu layaknya pukulan jab yang beliau hantamkan ke ulu hati seorang petinju yang akhirnya membuat saya luluh dan berbalik arah menyadari ketidakyakinan saya akan sakralnya sebuah amanah perjuangan.

Segera setelah beliau mengantar saya kembali ke RS, saya menghadap Ibunda yang sedang berbaring di ICU. Memohon restunya utk meninggalkan cita cita dunia dan menjalani hidup untuk membesarkan pesantren wakaf ini.

Kisah kecil yang saya alami ini menggambarkan kepribadian dan kepemimpinan Kyai Syukri yang luar biasa.

Perhatian personal beliau kepada santri dan kader-kader alumni menjadi salah satu kekhasan yang sulit dicari tandingannya.

Selain orator dan motivator ulung yang sambutannya selalu ditunggu tunggu oleh setiap santri dan audience,beliau memiliki kehkhasan lain, yaitu pendekatan humanisme. Pendekatan personal yang sanggup membuat kepercayaan diri setiap santri merasa istimewa dan merasa seperti nelayan yang mampu menerjang badai di samudera ganas.

Perhatian yang tidak didapat oleh anak-anak kandungnya saja, tetapi juga anak ideologisnya yang tersebar di pelosok negeri bahkan dunia.

Perhatian beliau seperti itu tidak berhenti dititik itu. Dalam perjalanan membesarkan pondok kecil di Cidokom, Bogor, saya harus mempersiapkan segala jawaban dari pertanyaan pertanyaan yang beliau ajukan setiap ada kesempatan bertemu dengan saya. Detail jumlah santri, progress pembangunan, usaha pendanaan dan program apa yang saya kerjakan di pondok adalah sebagian kecil yang selalu ia tanyakan.

Salah satu kenangan yang paling dalam yang menggambarkan kualitas luar biasa dari kepemimpinan beliau adalah saat perbincangan terakhir saya dengan beliau melalui sambungan telpon.
Pada tahun 2012, tak lama setelah saya hijrah di Cidokom, saya mendapat kejutan terakhir kalinya dari beliau.

Waktu itu beliau sudah dalam kondisi sakit terkena serangan stroke. Ingatan terhadap orang-orang yang disekililingnya termasuk keluarga terdekatnya sudah sangat berkurang.
Itulah kenapa saya setengah tidak percaya ketika melihat layar handphone saya muncul panggilan dari beliau: KH Syukri Zarkasyi!

Diujung telpon terdengar suara salah satu guru senior, yang mengkonfirmasi identitas saya. Guru itu mengatakan, bahwa Kyai Syukri ingin berbicara.
Sesaat kemudian, terdengar suara khas Kyai Syukri, yang saat itu dalam kondisi sakit, tapi mengejar saya dengan pertanyaan pertanyaan terkait tugas yang ia berikan.

Bagaimana perjuanganmu? Apa program2mu? Sudah berapa banyak santrimu? Dan satu kalimat yang membuat saya gemetar: “Kamu harus lebih keras! Kamu harus berjuang lebih keras lagi!”

Belakangan, setelah telpon itu saya menelpon balik ke guru senior tadi. Bertanya kok bisa-bisanya beliau menelpon saya dalam kondisi sakit. Guru itu mengatakan, bahwa sebenarnya beliau sendiri tidak mengingat nama saya, tapi beliau minta kepada istrinya untuk dihubungkan kepada saya,: “saya mau bicara dengan anaknya Andin! Anaknya Andin yang aktif di pondok itu!

Subhanallah. Bahkan dalam kondisi sakit yang mengurangi daya ingatnya dan mendekatkan ke kematian, yang muncul di dalam memori terdalam beliau adalah tugas-tugas yang ia berikan kepada kader-kader Islam yang beliau bina. Kewajiban yang telah beliau lakukan dan menguras sebagaian besar energy dan perhatian beliau selama hidupnya.

Keteladanan yang sedikit banyak mungkin beliau dapatkan dari keteladanan Sang Nabi Yang Agung didalam masa singkat kerasulannya menyiapkan kader-kader Sahabat penerus perjuangan Islam, yang pada saat saat sakaratul mautpun hanya memikirkan ummatnya: Ummati, ummati..

Allahumma sholli ‘alaa Muhammad..

United Trimurti: Poros Madinah, Kairo, Manchester

0

Oleh A. Fuadi (Alumni Gontor, Penulis Negeri 5 Menara, IG @afuadi)

Pengasuh kami. Patah tumbuh hilang berganti. Ujian dan tantangan besar bagi puluhan ribu pesantren di Indonesia adalah regenerasi pemimpin. Apalagi, originnya pesantren memang bermula dari magnet seorang alim lautan ilmu. Sosok pandita ini lambat laun didatangi oleh orang-orang yang ingin belajar, semakin hari semakin ramai, lama kelamaan mereka tinggal di sekitar rumah orang alim itu supaya leluasa belajar. Orang alim ini ikhlas mengajar dan pendatang ini ikhlas diajar. Orang alim ini lalu dipanggil kiai, para penuntut ilmu inilah santri dan komunitas baru ini disebut pesantren. Koneksi mereka adalah sambungan energi ikhlas antara guru dan murid, bahkan sudah bagai orang tua yang mengasuh anak kandung sendiri. Lalu, bagaimana kalau orang alim ini wafat? Kepada siapa lagi para santri ini mengadu, bertanya dan belajar? Mereka bagai anak yatim. Apakah dengan wafatnya kiai, maka bubar pula sebuah pesantren?

Tiga orang founding fathers Gontor mencoba menghindari macetnya pesantren kalau kiai wafat. Tiga bersaudara yang kerap dipanggil Trimurti (KH Ahmad Sahal, KH Imam Zarkasyi, KH Zainuddin Fanani) sepakat mewakafkan pesantren milik mereka kepada umat Islam. Umat Islam ini diwakili oleh Badan Wakaf. Karena itu, keputusan tertinggi di Gontor ada pada anggota Badan Wakaf, kira-kira seperti fungsi MPR di era sebelum pilpres langsung. Ketika mereka satu persatu wafat, Badan inilah yang segera bersidang jika salah satu dari 3 kiai berkurang (Gontor selalu punya 3 kiai/pimpinan secara bersamaan). Badan ini segera memilih kiai baru, untuk memastikan pondok tetap berjalan dan santri terus punya pengasuh.

Saat melepas jenazah Kiai Syukri, Kiai Hasan terisak sambil menyeka air mata dengan punggung tangannya. Kurang lebih beliau mengungkapkan perasaan seperti berikut: “Beliau orang yang paling tahu saya, dan saya paling tahu beliau. Kini, saya ditinggal sendiri..” Tentu yang terbayang oleh Kiai Hasan adalah beban berat mengasuh 33 ribu santri di belasan pondok cabang Gontor, dan mengelola amanah 1000 hektar lebih tanah wakaf dengan segala aset lainnnya.

 

Kini Kiai Hasan sudah punya dua kawan seiring untuk mengasuh Gontor. Badan Wakaf sudah memilih 3 pimpinan baru. KH Hasan Abdullah Sahal, KH Akrim Mariyat, dan KH Amal Fathullah Zarkasyi. Ketiga kiai yang pernah mengajar di kelas saya dulu, adalah orang-orang terpilih dan amanah. Mereka bertiga adalah kombinasi yang kuat dan saling melengkapi secara ilmu dan persona. Pak Hasan tamatan Madinah University, Pak Amal dari Darul Ulum University, Mesir dan Pak Akrim dari Manchester University. Kesamaan para kiai ini, mereka semua lahir dan tumbuh dari tanah dan air Gontor. Rahim Daarussalam.

Kebetulan, beberapa tahun lalu saat menjalin kerjasama dengan berbagai universitas di Inggris Raya, mereka bertiga sempat berpose di Old Trafford Stadium dengan gaya United Trinity, trio legendaris MU (George Best, Denis Law, dan Sir Bobby Charlton). Kiai-kiai Gontor memang penyuka bola dan juga pemain bola. Walau mampir ke kandang MU, sejatinya Pak Hasan fans berat Barcelona, Pak Amal fans Liverpool. Mungkin Pak Akrim yang fans MU, karena dulu kuliah di Manchester University.

Kalau United Trinity mengharumkan kesebelasannya menjuarai Liga Champion tahun 1968, semoga “United Trimurti” ini membawa Gontor terus melaju jaya menuju usia satu abad. Aamin.

 

Kisah Foto Viral di Depan Monumen Legenda Trinity United di Old Trafford

0

Oleh: M.Husain Sanusi

Jangan pernah mengaku fans fanatik Manchester United jika Anda tidak pernah mendengar istilah Trinity United yang patung menomennya berdiri tegak di pelataran utama stadion Old Traford.

Di pelataran utama Old Trafford ada tiga monumen utama yang menggambarkan momen penting sejarah Manchester United.

Yakni, monumen peringatan Tragedi Muenchen, monumen United Trinity (George Best, Denis Law, dan Sir Bobby Charlton), serta patung Sir Matt Busby yang berdiri gagah persis di atas Manchester United Megastore.

Bagi penggila klub legendaris Liga Inggris berjuluk Red Devils itu, Trinity United sangat disanjung bak dewa karena sepak terjang ketiganya menjadikan Manchester United (MU) sebagai klub kawakan se-antero jagat dengan segudang prestasi baik di kompetisi domestik Liga Inggris maupun kompetisi elite Eropa, Liga Champions.

Di era kejayaan Trinity United tersebut, Red Devils menjelma jadi klub yang sangat disegani. Setiap lawan MU bahkan sudah keder duluan sebelum memasuki medan laga lapangan hijau.

Saya tidak akan bercerita panjang lebar tentang Trinity United. Sejatinya saya bukan fans MU, tapi fans musuh bebuyutan MU yang tidak bisa saya sebutkan namanya untuk menjaga netralitas yang hari-harinya aktif bertugas sebagai Jurnalis Desk Sport Tribunnews.com.

Saya akan mengulas sosok Trimurti baru Pondok Modern Gontor yang pada Jumat 23 Oktober 2020 telah resmi diumumkan sebagai Pimpinan Pondok Modern Gontor (PMDG) oleh Badan Wakaf PMDG lewat sebuah pengumuman sakral usai salat Jumat di Masjid Jami Pondok Gontor.

Prosesi pengangkatan Pimpinan PMDG, KH Akrim Mariyat dan KH Amal Fathullah Zarkasyi untuk mendampingi KH Hasan Abdullah Sahal sejatinya akan disiarkan Live di Gontor TV.

Mendadak rencana tersebut dibatalkan karena ada kebijakan baru untuk tidak Live meski link Live streaming sudah tersebar di saluran media sosial.

Jutaan alumni Gontor dan seluruh stakeholdernya tentu sangat menanti dan penasaran ingin mengetahui hasil pengumuman sakral ini karena keingintahuan yang besar siapa sosok Trimurti baru PMDG.

Beruntungnya, tim media PMDG sangat sigap. Hanya dalam hitungan detik setelah pengumuman di Masjid Jami Gontor, langsung beredar pamflet Pimpinan Baru PMDG dengan foto sangat apik, KH Hasan Abdullah Sahal, KH Akrim Mariyat dan KH Amal Fathullah Zarkasyi dengan background bendera PMDG.

Rasa penasaranpun langsung sirna, Trimurti baru PMDG sudah pasti dan Alhamdulillah suksesi kepemimpinan PMDG berlangsung sukses dengan suasana adem dan ayem.

Hanya berselang tak sampai 5 menit beredar lagi foto Trimurti baru PMDG dengan background ketiganya berpose di pelataran utama Old Trafford bergaya menyerupai Trinity United dengan KH Hasan Abdullah Sahal mengangkat tangan ke atas. Hanya kurang KH Amal Fathullah Zarkasyi yang tidak megang bola.

Saya tidak tahu secara persis siapa yang pertama menyebarkan foto tersebut, tapi foto ini viral bersaing dengan foto resmi rilis tim media Gontor.

(Update: Foto tersebut pertama kali dishare oleh Ustadzah Rossy Faradisi di akun instagram beliau pada 7 Oktober 2017)

Penasaran dengan foto tersebut, Sore hari Sabtu 24 Oktober 2020, saya bersama Munif Attamimi silaturrahmi ke kediaman KH Amal Fathullah Zarkasyi di Kampus UNIDA Gontor.

Kami berdua melaporkan banyak hal ke Ustadz Amal dan banyak berdiskusi banyak tentang tugas yang diamanahkan ke kami untuk terus menulis literasi khazanah sejarah PMDG.

Di tengah-tengah diskusi, Ustadz Amal tiba-tiba bercerita tentang foto viral di pelataran Old Trafford tersebut. Beliau juga kaget kok bisa foto itu viral?
“Saya juga tidak tahu bagaimana foto itu bisa viral. Kami bertiga juga tidak sengaja dulu ketika bertugas di Inggris foto seperti itu,” kata Ustadz Amal sambil tersenyum.

Ustadz Amal melanjutkan, pada 2017 lalu Pimpinan Gontor bersama dengan pihak UNIDA memang berangkat ke Inggris dan beberapa negara Eropa untuk sebuah acara seminar dan MOU dengan beberapa Perguruan Tinggi di Eropa.

Kebetulan ketika waktu senggang, rombongan ke Manchester dan ke Old Traford. “Lalu Ustadz Hasan yang mengajak saya dan Pak Akrim foto di depan monumen itu,” kata Ustadz Amal menjelaskan lagi.

Ustadz Amal lalu melanjutkan cerita, beliau dari sejak santri memang sudah hobi olahraga terutama badminton.

Ketika menjadi pengurus OPPM, Ustadz Amal ditempatkan di bagian olahraga sama dengan kaka beliau Almarhum KH Syukri Zarkasyi yang juga di bagian olahraga.

Jika di sepakbola, saya memprediksi Ustadz Amal fans nya Liverpool, saingan berat Manchester United. “Sayang sekali ketika ke Inggris saya tidak sempat ke Liverpool untuk melihat Stadion Anfield,” kata beliau.

Lalu, bagaimana dengan Ustadz Hasan? Sudah bukan rahasia jika Ustadz Hasan adalah pemain bola hebat dan fans berat Barcelona.

Dalam beberapa kesempatan beliau selalu bercerita tentang klub Catalan itu bersama dengan Mega Bintang, Lionel Messi. Foto Ustadz Hasan dengan mengenakan jersey Barcelona di Stadion Camp Nou juga sempat viral.

Kira-kira siapa hayo klub yang didukung Ustadz Akrim Mariyat? Saya sih memprediksi klubnya Ustadz Akrim Manchester United.

Ini analisa dan tandzim saya karena belum terkonfirmasi langsung ke beliau.

Alasan saya memprediksi Ustadz Akrim Mariyat mendukung MU, sebab beliau ini pernah lama hidup di kota Manchester dan merupakan lulusan Manchester University bidang Adult Education dengan gelar Diploma.

Ini sih baru prediksi, insya Allah akan ditanyakan langsung ke beliau hehehe…(Waallahu a’lam bisshowab).

 

Video Slideshow Kunjungan Kiai Hasan, Kiai Amal, dan Kiai Akrim Mariyat ke Inggris:

 

90% Hidup Saya Habis untuk Mengkader (Legacy KH Abdullah Syukri Zarkasyi)

0

Oleh: Ustadz Hadiyanto Arief, Pengasuh Ponpes. Annur Darunnajah 8 Cidokom

Hal tersulit dalam mengelola usaha dalam bentuk apapun adalah “mengelola orang”. Merekrut, melatih, memotivasi, dan mempertahankan orang sangat penting tapi luar biasa menantang dan butuh usaha tak mudah.

Sebuah survey yang melibatkan 100an lebih CEO di AS menemukan bahwa untuk merubah perusahaan mereka from good to great, hal pertama dan terpenting yang harus mereka lakukan bukanlah menulis visi dan strategi, tapi menemukan orang yang tepat untuk bergabung, mendepak orang yang tidak cocok, dan menempatkan orang yang tepat di kursi yang tepat. Ungkapan lama “orang bukanlah aset terpenting anda” ternyata keliru. Orang bukanlah aset terpenting Anda. Orang-orang yang tepatlah aset terpenting Anda. *Rahasia sukses Harvard Business School.

David Ogilvy, suhu periklanan legendaris dan pendiri agensi periklanan global utama Ogilvy and Mather, meyakini bahwa merekrut orang yang tepat bahkan dapat berarti merekrut orang yang lebih cakap daripada merekrut. konon, manakala seseorang ditunjuk untuk mengepalai satu kantor di firmanya, Ogilvy akan memberinya sebuah boneka Rusia. Boneka ini kalau dibuka akan berisikan sebuah boneka yang lebih kecil, yang kalau dibuka akan berisikan boneka yang lebih kecil lagi dan demikian seterusnya.

Di dalam boneka terkecil ada secarik catatan dari Ogilvy, “Jika setiap dari kita merekrut orang yang lebih kecil daripada kita, kita akan menjadi perusahaan orang orang kerdil. Tapi jika setiap dari kita merekrut orang-orang yang lebih besar daripada kita, kita akan menjadi perusahaan para raksasa.”

Pola inilah yang dalam pengamatan saya menjadi salah satu resep rahasia bagaimana Pondok Modern Gontor bisa menjaga kualitas pendidikannya hingga hampir satu abad lamanya. Meminjam istilah Jim Collin, Gontor telah mampu melampaui proses dari lembaga berlevel “Good” menjadi” Great” dalam menjaga visinya sebagai lembaga kaderisasi pemimpin.

Di umurnya yang mendekati satu abad ini, tak terhitung alumninya yang mampu memimpin dan mewarnai masyarakat dan lingkungannya, dalam segala bidang, baik di tingkat lokal, regional, bahkan nasional internasional.

Dalam beberapa kesempatan, (alm) Kiai Syukri Zarkasyi sering menyampaikan rahasia bagaimana Gontor bisa mempertahankan kualitas pendidikan lembaga yang beliau asuh. Gontor hanya mengambil sumber daya manusia (SDM) dari hasil proses internal lembaga pendidikan itu sendiri. Beliau juga menyatakan hanya memilih 10% alumni terbaik dari lulusannya setiap tahunnya untuk mengabdi di Pondok Modern Gontor itu sendiri. Mereka merekrut hanya kader kadernya yang sudah sangat mereka kenal kualitasnya dan bisa dibilang memiliki potensi dan kemampuan yang lebih dari diri mereka sendiri.

Proses kaderisasi di pondok ini memang luar biasa efektif dan terbukti bisa menjaga keberlangsungan lembaga dan menjaga kualitasnya. Dedikasi Gontor dalam melahirkan generasi Indonesia yang siap memimpin patut mendapat apresiasi lebih. Dalam Bahasa alm Kiai Syukri, “90% waktu dan energi hidup saya habis untuk mengkader”.

Mengkader orang, seperti yang diungkapkan oleh para CEO diatas, justru adalah tugas tersulit dan yang paling menantang dalam mengelola sebuah lembaga. Gontor dengan sengaja mengambil peran itu, mengetahui dampak strategisnya dalam menentukan arah masa depan Bangsa Indonesia.

Luar biasanya, Gontor tidak egois dengan hanya memikirkan kader internal lembaga itu sendiri. Kader-kader ummat, sepanjang memiliki visi perjuangan yang sama, diperlakukan sama seperti mengkader putra putri mereka sendiri.

Saya sendiri beruntung bisa termasuk satu diantara ratusan bahkan ribuah santri yang merasakan pola pengkaderan luar biasa ala Kiai Gontor ini. Perhatian personal kepada kami santri santrinya dalam beragam bentuk, seperti setruman nasihat, omelan, arahan, penugasan, dan banyak lainnya bisa dibilang menyentuh dan menggerakkan kesadaran yang paling dalam dalam jiwa kami.

Setiap alumni yang saya temui, memiliki potongan kisah dan kenangan versi mereka sendiri bagaimana Kiai Gontor, terutama Kiai Syukri mewarnai jalan hidup perjuangan mereka.

Inilah kepemimpinan level 5. Meminjam istilah Jim Collin dalam buku best sellernya, Good to Great, merupakan level tertinggi yang mungkin ada dalam dunia kepemimpinan. Pemimpin level tertinggi ini memiliki semangat yang kuat dan memiliki kebutuhan besar untuk memberikan hasil lestari. Pemimpin seperti Kiai-kiai Gontor membuka jalan bagi penerus mereka untuk meraih kesuksesan lebih besar lagi di generasi berikut.

Saat ini kita saksikan, energi dan perhatian yang beliau habiskan tidaklah percuma, bahkan terasa urgensinya terhadap perjuangan pendidikan yang Gontor cita-citakan. Mendekati satu abad umur pondok wakaf ini, tak ada indikasi pondok akan melambat setelah ditinggal pergi Kiainya.

Gontor baru saja ditinggal dua pimpinan terbaik mereka, Kiai Syukri dan Kiai Syamsul, namun justru dalam kondisi itu lompatan lompatan perkembangan kuantitas maupun kualitas terus diprogram oleh para kader yang siap melanjutkan kepemimpinan beliau. Kader kader pondok melimpah siap mengemban amanah jika dibutuhkan. Tersebar di23 kampus diseluruh Indonesia. Selain jumlah santri yang telah menembus angka tiga puluhan ribu, Gontor pun siap terbang dengan visi Universitas Islam Darussalamnya.

Pemimpin sejati memang selalu melahirkan pemimpin pemimpin lainnya.

Sebagai pengasuh sebuah pondok alumni, saya pun terhenyak menyadari kenyataaan tak banyak santri kami yang bersedia mengabdi di pondok tempat ia menuntut ilmu dengan berbagai alasan. Alumni-alumni terbaik bahkan biasanya telah direkrut dan diterima untuk melanjutkan studi mereka di lembaga Pendidikan Tinggi terkemuka. Tak sampai hitungan jari sisanya yang benar-benar bersedia mengabdi memperjuangkan pondok yang melahirkannya.

Tak ingin menjadi boneka Rusia, kami pun mengambil jalan pintas berusaha membuat permohonan guru pengabdian kepada Kyai Gontor, K.H. Hasan Abdullah Sahal. Dalam surat permohonan tersebut, biasanya secara eksplisit kami beri catatan permohonan untuk bisa dikirim guru alumni pengabdian terbaik dari Gontor untuk mengabdi di pondok kami. Tau apa jawaban beliau?

Beliau menjawab sambil tertawa lebar. “Gaweono dewe!” (Buatlah sendiri..!)

Saya pun hanya bisa tersenyum masam. Mau tak mau mulai berpikir keras bagaimana caranya mendidik santri dengan lebih benar dan niat tulus, sambil terus berdoa, semoga kami pun bisa melahirkan santri-santri berkualitas dan siap mengabdi seperti santri santri kampung damai itu. Begitulah cara Gontor mendidik santri alumninya. Wallahu a’lam bisshowab.

Cidokom, ditulis ulang 24/10/2020

 

KH Abdullah Syukri Zarkasyi: Menjiwai Panca Jiwa

 

Kiai Syukri, Kiai Karismatik yang Berkhidmat untuk Pondok dan Ummat

0

Gontor, Kampung yang Damai sedang berduka. Kabar duka itu kemudian dalam sekejap menyebar menyeruak ke seantreo penjuru Nusantara, kawasan Asia Tenggara, bahkan penjuru dunia.

 

Sebagian besar kami para santrimu, yang jauh di perantauan dan tersebar di berbagai lapangan perjuangan, mungkin hanya dapat mendo’akan dan mengirimkan bacaan al-Fatihah, serta mungkin membaca surat Yaasin dan Tahlil atas wafatnya kiai kami. Namun, kami haqqul yaqin, apa yang kami lakukan di berbagi belahan dunia, adalah wujud kami berbakti, mengamalkan ilmu yang Antum ajarkan, yang insya Allah akan menjadi investasi akhirat ‘ilmun yuntafau bihi’dan amal jariyah bagi ayahanda tercinta serta para guru kami di Gontor.

 

Beliau, KH. Dr. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA., hari ini Rabu, 4 Rabi’ul Awwal 1442 H / 21 Oktober 2020 M telah berpulang ke hadirat Allah Subhanallhu wa Ta’ala. Sebagai santri, kami masih sangat ingat setiap pesan dan petuah Antum, Kyai-ku. Di antara pesanmu yang akan selalu kami ingat adalah “Orang yang tidak mau apa-apa, tidak akan mendapat apa-apa, maka ia tidak akan bisa apa-apa, dan akhirnya pun, ia tidak akan jadi apa-apa”. Hal inilah yang memotivasi kami untuk berbuat, berjuang semaksimal mungkin di masyarakat melalui berbagai jenis profesi, li’ilaa-i kalimatillah.

 

Selain itu, kepada santri-santrinya, beliau juga sering berpesan bahwa “Siapapun yang hidup di Gontor harus mengalami proses kepemimpinan. Siap memimpin dan siap dipimpin dengan segala keikhlasannya”. Bahkan menurut beliau “Apabila dalam waktu 5 tahun atau 8 tahun, seorang pemimpin tidak ada prestasi, berarti dia tidak pernah ada kerja keras”. Maka, tak heran tidak sedikit para anak didikmu yang telah berperan sebagai dai, pemimpin, pendidik, pengusaha yang sukses, baik pada tingkat daerah maupun nasional.

 

Selamat jalan Kiai Kami, atas dharma bakti untuk Bangsa dan Negara ini, Keikhlasan Antum mewaqafkan diri untuk Darussalam Kampung yang Damai, serta segala upaya Antum berkhidmat kepada ummat insha Allah akan menjadi Amal Jariah di kehidupan selanjutnya. Amiin ya Rabbal’alamin.

 

Lahu Al-Fatihah.

 

Rusnadi Ali Kasan

Santri Gontor Tahun 1995-1997

 

Video Ustadz Syukri Saat Meresmikan Auditorium Gontor Kampus 4 Banyuwangi

 

 

 

UJIAN MEMBENTUK SANTRIWATI SHOLIHAH

0

MANTINGAN – (25/10/20) Setelah menjalani masa belajar efektif selama kurang lebih lima bulan, kini telah tiba saat ujian bagi seluruh penghuni pondok. Dikatakan seluruh penghuni pondok, karena pada masa ujian, baik lisan maupun tulis, seluruh penghuni pondok mulai dari guru, santri, bahkan pekerja diuji. Para santri diuji pemahamannya tentang materi yang telah dipelajari selama satu semester ini, sedangkan para guru diuji dengan cara menjadi penguji serta pengawas. Selain itu, ujian di Gontor tidak hanya meliputi ujian dalam bidang akdemik, namun juga akhlak.

Dalam pelaksanaan ujian, setiap kelas diisi kurang lebih 40 santri., tempat duduk santri diacak sehingga tidak ada santri yang duduk sebangku dengan teman seangkatannya. Selain itu, adanya empat sampai lima orang pengawas yang terdiri dari bebrapa ustadzah dan santri kelas 6 semakin memperketat pengawasan terhadap setiap santri. Hal ini dilakukan untuk menghindari kecurangan dalam bentuk apapun ketika ujian.

Al Imtihaanu li-atta’allum laysa atta’llum lil Imtihaan” Kalimat yang seringkali diucapkan Bapak Pengasuh ini memang tepat untuk menggambarkan suasana ujian di Gontor, karena dengan ujian santri tidak hanya mengetahui kemampuan mereka kita dalam memahami pelajaran, tapi juga membentuk kepribadian santri sehingga dapat menjadi muslimah sholihah. hann

Pengarahan dan Pembagian Tugas Ujian Tulis Awal Tahun Gontor Putri Kampus 2

0

MANTINGAN – Setelah berakhirnya Ujian Lisan Awal Tahun 1441-1442 H/2020-2021 M yang dilaksanakan selama 9 hari bagi seluruh siswi kelas 1-5 Kulliyatu-l-Mu’llimat Al-Islamiyah (KMI) di Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) Putri Kampus 2 Mantingan, kini para santriwati (PMDG) Putri Kampus 2 dihadapkan pada ujian tulis yang dimulai pada Rabu (21/10). Segala persiapan dilakukan sebelum dimulainya ujian lisan.

 Salah satunya adalah pengarahan dan pembagian tugas bagi segenap dewan guru dan siswi akhir KMI kelas 6. Pengarahan ini dilaksanakan selama 2 hari yaitu mulai hari Sabtu (17/10) hingga hari Ahad (18/10).

Di hari pertama, pengarahan diberikan oleh Bapak Wakil Direktur Kulliyatu-l-Mu’allimat Al-Islamiyah, Al-Ustadz Muhammad Fathan Aziz, Lc, M.A. Dalam pidatonya, beliau menyampaikan bahwa tujuan dari pengarahan ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Pengawasan kita sebagai pengawas ujian harus standar karena yang kita awasi adalah santriwati gontor. Setiap gerak gerik kita akan diperhatikan oleh santriwati. Menjadi pengawas itu adalah tugas dari bapak pimpinan, maka berwibawalah ketika menjadi pengawas.

            Di hari berikutnya (18/10), pengarahan dilakukan oleh Bapak Wakil Pengasuh Gontor Putri 2, Al-Ustadz Umar Said Wijaya, M.Pd. Beliau menyampaikan banyak pesan dan nasehat kepada segenap dewan guru dan siswi akhir KMI kelas 6. Beliau menyampaikan bahwa dalam hal keduniaan hendaknya kita melihat ke bawah agar kita selalu bersyukur. Namun dalam hal kebaikan, kita harus melihat ke atas agar bisa menjadi motivasi bagi diri kita. Sedekah yang paling bagus adalah ilmu. Walaupun ilmunya sedikit namun kita harus tetap membagikannya pada orang lain agar ilmu tersebut bermanfaat bagi diri kita sendiri.

            Setiap manusia akan diuji oleh Allah SWT. Sebagai hamba-Nya hendaknya kita menyikapi setiap ujian dengan ikhlas, sabar, dan tawakkal. Banyak hikmah dari setiap ujian yang ada. Hendaknya kita selalu bersyukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah. Jangan pernah menyalahkan keadaan karena Allah SWT memberikan ujian sesuai kemampuan hamba-Nya.

Muslim Palestina Gelar Salat Ghaib untuk KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A.

0

Jalur Gaza, NPC – Kematian Dr. (H.C.) K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, Lc., M.A., meninggalkan duka yang sangat mendalam, tak terkecuali bagi kaum Muslim di Palestina. Puluhan jemaah Muslim Palestina melakukan shalat ghaib guna mendoakan mendiang Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo itu.

Shalat ghaib ini yang dipimpin langsung Syaikh Mahmoud Abo Jamil, di Masjid Raya Umari kota Jabalia, Gaza bagian Utara. Atas nama Muslim Palestina, Syaikh Mahmoud menyampaikan ucapan bela sungkawa atas wafatnya ulama dan tokoh agama di Indonesia, sekaligus Pimpinan Pondok Pesantren Gontor, K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A.

“Atas nama Muslim Palestina, menyampaikan ucapan bela sungkawa atas wafatnya ulama dan toko agama di Indonesia,” ujarnya.

Setelah melaksanakan shalat ghaib, puluhan jemaah Muslim Palestina ini memanjatkan doa bagi almarhum. Mereka juga membacakan ayat dan doa Al-Qur’an bagi almarhum KH. Abdullah Syukri. Puluhan jemaah tampak khusyuk selama menjalani serangkaian shalat ghaib.

Kegiatan shalat ghaib dan doa bersama teruntuk almarhum KH. Abdullah Syukri itu, dikoordinir dan difasititasi penuh oleh lembaga sosial kemanusiaan asal Indonesia, Nusantara Palestina Center (NPC). Hal tersebut sebagai bentuk bukti ikatan batin yang mendalam antara Indonesia dan Palestina.

Penulis: Ihsan Zainuddin alumni Al-Azhar dan Aktifis NPC (Nusantara Palestine Center)

KULTUR DAN STRUKTUR; A Lesson from Gontor

0

Ayahanda K.H. Hasan Abdullah Sahal berulang kali sering menyampaikan bahwa di pondok menggabungkan antara kultur dan struktur. Pendekatan kultural dan struktural ini bukan saja menjadi norma, nilai dan sistem, tetapi juga menjadi semacam acuan teknis dalam hampir semua sektor kehidupan pesantren.

 

Kemarin, Jumat 6 Rabiul Awal 1442 H / 23 Oktober 2020 kita saksikan bersama secara live pembacaan Surat Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Wakaf Pondok Modern Gontor tentang pengangkatan Pimpinan Pondok pasca wafatnya Ayahanda K.H. Syamsul Hadi Abdan, S.Ag. dan Ayahanda Dr. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A.

 

Sebelumnya, Kamis 5 Rabiul Awwal 1442 H / 22 Oktober 2022 Badan Wakaf melaksanakan Sidang Luar Biasa sesuai ketentuan AD/ARTnya untuk mengangkat dan menetapkan Pimpinan Pondok yang baru. Sidang Luar Biasa itu tepat beberapa jam setelah pemakaman Dr. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A. Sejatinya, ini adalah kultur pergantian kepemimpinan ala Rasulullah yang tetap dilestarikan di pesantren. Seperti saat Rasulullah wafat, para sahabat senior segera berkumpul untuk memutuskan siapa pengganti (khalifah) Rasul. Tanpa harus menunggu satu minggu, satu bulan, dan seterusnya.

 

Diangkat, pada Surat Keputusan itu Ayahanda Drs. KH. Akrim Mariyat, Dipl.A.Ed. dan Prof. Dr. KH. Amal Fathullah Zarkasyi, M.A. Kedua beliau akan membersamai Ayahanda KH. Hasan Abdullah Sahal dalam memimpin pondok.

Secara struktural, di Gontor, Pimpinan Pondok pasca Trimurti Pendiri Pondok adalah diangkat oleh Badan Wakaf untuk masa khidmah selama 5 tahun. Dan dapat diperpanjang lagi secara periodik lima tahunan. Ini pendekatan strukturalnya.

Dalam sambutannya, Kiai Hasan menyatakan bahwa masa khidmah itu: “Sekuatnya lima tahun, dan kalau bisa, masih layak dan masih bersedia, mungkin masih bisa ditambah lagi sesuai dengan kebutuhan dan kelayakan.” Kalimat beliau ini sarat makna dan nilai, dan secara tersirat mengandung pendekatan struktural maupun kultural.

 

Adapun pendekatan kulturalnya, Pimpinan Pondok biasanya masa khidmah hingga wafatnya sebagaimana lazimnya dalam kultur pesantren. Seperti K.H. Shoiman Lukmanul Hakim yang wafat lalu digantikan Drs. K.H. Imam Badri dan digantikan oleh K.H. Syamsul Hadi Abdan. Kemudian sekarang ini oleh Drs. K.H. Akrim Mariyat, Dipl.A.Ed. Demikian pula Dr. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A. yang kini digantikan oleh adik lelaki tertuanya, Prof. Dr. K.H. Amal Fathullah Zarkasyi, M.A.

 

Secara struktural pergantian Pimpinan Pondok dituangkan dalam sebuah surat keputusan Badan Wakaf sebagai lembaga tertinggi di Pondok. “Posisi Badan Wakaf adalah tertinggi dalam struktur organisasi,
kami bertiga adalah mandataris Badan Wakaf” demikian penegasan K.H. Hasan Abdullah Sahal kemarin saat sambutan.

 

Adapun kulturalnya bahwa pengumuman atau pembacaan Surat Keputusan Badan Wakaf yang dibacakan oleh salah seorang anggotanya, K.H. Abdullah Said Baharmus, Lc. dilaksanakan di Masjid Jami’ PMDG usai shalat Jumat. Inilah kultur pesantren yang tetap menjadikan masjid sebagai sentral kegiatan, apalagi untuk hal-hal yang sakral seperti pengumuman pergantian kepemimpinan pondok.

“Inilah Pondok Modern Darussalam Gontor, tetap dengan kepondokmodernannya, kepesantrenannya, tapi juga tetap dengan kemodernannya, dengan struktur dan kulturnya; kultur pesantren dengan struktur organisasi kemodernan” kata Kiai Hasan dalam sambutan beliau.

“Kami diamanati untuk memimpin pondok ini, tetap dengan Panca Jiwanya dan Panca Jangkanya, kami bertiga dengan amanat ini bukan suatu jabatan, bukan suatu fasilitas, tetapi ini adalah amanat, karena mata, telinga, hati dan otak umat Islam, khususnya alumni Gontor dan seluruh keluarga besar Pondok Modern Darussalam Gontor membaca dengan baik dan seksama”
tandasnya lagi.

 

Secara struktural Badan Wakaf yang memutuskan siapa yang akan menjadi Pimpinan Pondok. Namun, secara kultural tetap ada komposisi untuk keluarga dan kader Pendiri Pondok. Namun demikian, tetap mengacu pada aspek kebutuhan dan kelayakan, sebagaimana ditegaskan oleh Kiai Hasan dalam sambutannya itu.

 

Trimurti Pendiri Pondok telah mengkader putra-putrinya untuk memenuhi unsur kelayakan itu. Bahkan, bukan saja putra-putrinya, tetapi santri-santrinya pun dikadernya agar suatu ketika mereka memiliki kelayakan untuk memimpin dan meneruskan estafet perjuangan ini. Kaderisasi, bagi Trimurti adalah salah satu yang dapat menjamin keberlangsungan pondok di masa depan.

 

Maka, tak heran jika Kaderisasi menjadi salah satu dari Panca Jangka yang dicanangkan Trimurti. Itu artinya, para Pimpinan Pondok setelah Trimurti tetap harus melanjutkan proses kaderisasi itu secara terus menerus dan sungguh-sungguh. Di Gontor, kaderisasi itu by design.

Sehingga, sesuai pepatah: “patah tumbuh hilang berganti”. Di Gontor, malah sebelum patah sudah tumbuh. “Jangan sampai kalau pendirinya atau kiainya wafat, pondoknya ikut wafat” demikian ditandaskan oleh Kiai Hasan saat melepas jenazah Almarhum Kiai Syukri.

Pondok kita ini, kata Kiai Hasan, orang mengatakan pondok besar, pondok elit. “Supaya diketahui oleh anak-anakku sekalian, pondok ini besar jiwanya, besar nilai-nilainya, dan besar cita-citanya. Pondok ini tinggi nilai-nilainya, tinggi jiwanya, tinggi semangatnya. Elit pengorbanannya, elit keikhlasannya, elit kebersamaannya, elit ukhuwahnya, dan elit “itsar“nya (mendahulukan orang lain, tidak berebut jabatan dan pengaruh).”

“Inilah Pondok Modern Darussalam Gontor dengan segala spesifikasinya sedang meneruskan perjalanan perjuangan, memperjuangkan nilai-nilai pondok” lanjut beliau.

 

Sambutan singkat Kiai Hasan usai pengumuman formasi Pimpinan Pondok itu menyetrum semua alumninya yang tersebar di seantero dunia. Kiai Hasan lalu mengutip sebuah ayat:

وَیُؤۡثِرُونَ عَلَىٰۤ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةࣱۚ
[سورة الحشر 9]

Dan mereka mengutamakan (orang lain), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. (Qs. Al-Hasyr [59]: 9)

Inilah kultur tertinggi di pesantren: keikhlasan dalam berjuang. Tidak berpikir untuk kepentingan pribadi-pribadi, tetapi semata-mata untuk kepentingan pondok dan umat. Tidak mengenal istilah “take and give“, tetapi yang ada adalah: “give and give“.

Kultur itu terangkum dalam Panca Jiwa: Keikhlasan, Kesederhanaan, Kemandirian, Ukhuwah Islamiyyah dan Kebebasan.

Strukturnya terangkum dalam Panca Jangka: Pendidikan dan Pengajaran, Kaderisasi, Pergedungan, Khizanatullah (Pendanaan) dan Kesejahteraan Keluarga Pondok.

 

Itulah sekelumit kultur dan struktur di Pondok Modern Darussalam Gontor. Pondok alumni perlu banyak belajar dan merenunginya. Kita doakan semoga Bapak-bapak Pimpinan Pondok senantiasa diberi kesehatan, kekuatan dan kesabaran dalam memimpin pondok. Semoga beliau-beliau diberi umur panjang untuk membimbing kita semuanya.

Tazakka, Batang
7 Rabiul Awal 1442 H
24 Oktober 2020
Anang Rikza Masyhadi

 

Related Articles:

Selamat Jalan Kiai Abdullah Syukri Zarkasyi

KH. Hasan Abdullah Sahal, Wajah Keislaman, dan Tantangan Zaman

Wahai Generasi Muslim, Perkaya Iman, Perkuat Barisan!

Berkaryalah, Sebelum Habis Masamu!