Home Blog Page 369

Wayang Kulit Ki Anom Suroto Turut Semarakkan 90 Tahun PMDG

0

DARUSSALAM-Pada Sabtu (3/9), Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) mendatangkan Dalang Ki Anom Suroto dan Ki Bayu Aji Pamungkas dari Klaten untuk mementaskan Pagelaran Wayang Kulit dalam rangka peringatan 90 tahun PMDG divisi kemasyarakatan,  serta pelaksanaan 4 pilar Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI). Acara yang dimulai pada jam 19.30 WIB ini mengundang antusiasme dari masyarakat Ponorogo, khususnya Wakil Bupati Ponorogo, Drs. Soedjarno, MM., dan Wakil Ketua MPR RI, Dr. H. Muhamad Hidayat Nur Wahid, M.A.,  yang turut hadir memberi sambutan sebelum acara Pagelaran Wayang Kulit dimulai.

“Acara ini menunjukkan bahwa santri juga memiliki jiwa seni, dan kita harus melestarikan budaya Wayang Kulit agar tidak Punah” Sambut Bapak Drs. Soedjarno, MM. Dalam acara ini, Ki Anom Suroto dan Ki Bagus Aji Pamungkas selaku dalang mengusung tema yang berjudul “Parikesit Menjadi Ratu” dan selingan dari Semar dan Bagong, menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat Ponorogo.

Dalam acara tersebut, sang dalang mendo’akan PMDG, dalam umurnya yang sudah tidak lagi muda agar tetap berjaya dan bermanfaat bagi ummat, agama, dan bangsa. Reyzin.

Reuni Akbar Putri Pertama Siap Digelar

0

Pada tanggal 17-18 September 2016 mendatang, 24 angkatan tetasan Gontor Putri akan berkumpul di acara reuni akbar sebagai salah satu rentetan peringatan sembilan puluh tahun Gontor dan seperempat abad Gontor Putri. Acara ini kali pertamanya diadakan di pondok putri. Maka kehadirannya sangatlah ditunggu-tunggu oleh alumni dari seluruh pelosok Indonesia, bahkan dari mancanegara pun berkesempatan hadir. Menurut hitungan dari pendaftaran via website resmi Gontor Putri, alumni yang resmi menyatakan kehadirannya mencapai 1500.

Pada Jum’at (16/9) sore medatang, selruh alumni dapat memulai check in dan menempatkan diri di tempat peristirahatan per angkatan yang sudah disiapkan oleh panitia. Sehingga pada esok paginya (17/9) seluruh alumni sudah dapat berkumpul bersama di auditorium Gontor Putri yang baru dibangun pada tahun 2003 lalu. Acara ini akan dihadiri pula oleh seluruh guru senior yang pernah turut berjuang di kampus putri, seperti Ustadz Dr. KH. Ahmad Hidayatullah Zarkasyi, Ustadz Noor Syahid, Ustadz Suja’i, Ustadz Muhammad Ma’ruf Chumaidi, Ustadz Sujiat Zubaidi, Ustadz Sunanto, dan lain-lain. Kemudian pada malam harinya akan diadakan Darussalam All Star Show (DASS) yang bertemakan Realisasi Misi Gontor Putri untuk Kemuliaan Umat dan Bangsa. Karena dirasa bahwa dengan segala trial and error, Gontor Putri pada usia peraknya kini sudah established. Sisanya adalah untuk dijaga dan dikembangkan. Pada acara DASS juga akan diumumkan pemenang lomba cipta lagu peringatan seperempat abad Gontor Putri.

Di sela-sela rentetan aacara yang sudah diberikan oleh panitia tentunya juga diselipkan reuni antar angkatan secara bebas namun tertib dengan tempat-tempat yang ditentukan. (dee)

Dua Alumni 1999 Isi Dialog Interaktif di Gontor Putri

0

Gontor Putri yang baru berusia 26 tahun kini sudah menetaskan 24 generasi yang tersebar di seluruh dunia. Berkesempatan hadir pada acara di hari yang sama dengan dialog bersama Marissa Haque pada Ahad (4/9), dua alumni dari angkatan ketujuh Gontor Putri tahun 1999, Elizabeth Diana dan Dr. Ika Yunia.

Dengan dihadiri oleh seluruh dewan guru, mahasiswi UNIDA dan kelas enam, dialog singkat yang berlangsung pada siang hari ini mengalir lancar dengan pemaparan keduanya mengenai kiprah perempuan pada masa kini.

img_9786Dr. Ika memaparkan bahwasanya hidup harus selalu bergerak sesuai input dan output. Semua hal yang didapatkan di pondok merupakan sebuah proses sebagai bekal di luar nantinya. Karena menurut mantan ANKULAT ini, kunci unut menjadi berbeda adalah dengan integrtas dan kompetensi.

“Perempuan harus memiliki skill berupa smart, kompeten atau pendidikan yang
lebih tinggi dan akhlak yang baik. Alhamdulillah kita dapatkan semua itu di Gontor. Terlebih karena pramuka. Hingga saat ini kalau melihat kegiatan pramuka hati saya masih terherak,” paparnya yang kebetulan pada saat itu sedang diadakan jambore dan raimuna nasional di bumi perkemahan yang tak jauh dari auditorium.

Elizabeth Diana juga menambahkan mengenai pengalamannya berdiplomasi di berbagai negara. Menurut ketua II OPPM tahun 1999 ini, perempuan juga bisa untuk terjun di kancah internasional untuk membantu negara. “Asal suami mengijinkan,” tambahnya.img_9824

Ia pun memberikan pesan kepada seluruh hadirin yang belum keular dan terjun pada masyarakat untuk selalu bersabar menjalani proses. Apapun bentuk proses tersebut. dee

Marissa Haque: Perempuan Harus Pintar!!!

0

Marissa Haque, public figure sekaligus politisi dan akademisi, berkesempatan hadir di Gontor Putri kampus 1 untuk menjadi pembicara dalam dialog interaktif mengenai Wanita dan Tantangan Zaman pada hari Ahad (4/9). Acara yang dihadiri oleh beberapa dewan guru dari kampus Putri satu hingga tujuh serta seluruh santriwati kelas enam kampus satu dan dua ini bertempat di auditorium Putri 1.

img_9061Ustadz Setiawan bin Lahuri, ketua panitia peringatan sembilan puluh Gontor, mengatakan bahwa tahun ini adalah tahun untuk memperingati dan mengingat perjuangan perintis terdahulu. Maka tidak ada istilah HUT maupun milad. Di samping itu beliau pun sempat menyinggung mengenai suami Marissa Haque, Ikang Fauzi, yang sempat satu bulan sholat di masjid kampus pusat UNIDA dalam rangka syuting film Negeri Lima Menara.

Sementara wakil pengasuh Gontor Putri kampus 1, Ustadz Ahmad Suharto, memberikan penekanan bahwa mendidik perempuan selayaknya mendidik bangsa. Maka perbaikan bangsa sudah pasti melalui perempuan.

Perempuan kelahiran 1964 ini menyatakan bahwa ia lebih memilih terma perempuan daripada wanita. Karena perempuan berarti yang diempukan, digugu dan ditiru,  sedangkan terma wanita lebih memiliki padanan kata dengan betina. Selebihnya ia pun memaparkan tentang tantangan perempuan pada zaman ini.

img_9117“Perempuan harus hebat, tapi bukan berarti merasa lebih hebat daripada suami. Suami tetap menjadi imam dan pemimpin dalam rumah tangga. Kita wakilnya. Ibarat suami adalah kepala, maka istri adalah leher yang membantu. Jadi keduanya harus singkrom,” terang peraih gelar doktor dari IPB ini

Ibu dari dua anak ini juga memberikan motivasi mengenai perempuan masa kini yang harus memiliki skill dan nilai tambah untuk bersaing di dunia nyata. “Do something with your own hand!

Ia juga mengisahkan mengenai sejarah hidupnya dalam bidang akademik. Sebagai sarjana hukum sebuah universitas swasta pada masa itu membuatnya masih haus akan ilmu. Itulah sebab mengapa ia tetap melanjutkan sekolah hingga saat ini dengan studi magister sebanyak lima kali dengan konsentrasi dan universitas yang berbeda, serta doktoral yang baru saja diraihnya pada tahun 2014 lalu. “Hobi saya sekolah. Selama suami dan kondisi mengizinkan, maka saya kejar.”

“Mengapa perempuan harus pintar? Karena bila ibu pintar, keluarga akan pintar, lingkungan pun begitu. Teaching by example.”

img_9266Dialog interaktif ini usai sebelum dzuhur dan Marissa Haque berkesempatan berdialog secara personal dengan pimpinan pondok, Ustadz KH. Hasan Abdullah Sahal, yang sengaja datang ke kampus Putri 1. (dee)

Ketika Hymne “Oh Pondokku” Dilantunkan

0

14249866_10210923136933623_9042920305924966535_oKira-kira pukul 09.00 WIB, Pembawa Acara memulai perhelatan itu; Reuni Akbar Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor (PM Gontor/Gontor), dalam rangka Peringatan 90 Tahun usianya. Dengan kepiawaiannya, pembawa acara mengajak hadirin untuk memekikkan takbir berkali-kali. Anehnya, ajakan takbir pembawa acara, alumnus Gontor yang baru berusia 30 tahunan itu, disambut dengan gegap gempita dan kepalan tangan ke atas oleh 11.000 orang lebih alumni Gontor dari angkatan termuda hingga tertua 1950-an. Terserah. Apalah niatan takbir itu; namun yang terasa, mereka bersedia meneriakkan takbir untuk Gontor: Yang pasti, Gontor menjadi sedemikian karena Allahu Akbar!

Lalu, para alumni yang sebelumnya masih mengobrol mulai diam ketika ayat-ayat Suci Al-Qur’an dibacakan oleh alumnus Gontor juga. Selesai. Menginjak acara berikutnya, menyanyikan “Lagu Indonesia Raya”. Dengan sikap sempurna, lantang, dan gegap gempita, tampak, para alumni itu ingin menunjukkan nasionalismenya, nasionalisme yang diajarkan Gontor kepada mereka, yang tak perlu diragukan. Saya pun hanya tersenyum kecut mengingat Pangdam Jawa Timur yang meragukan kemampuan santri Gontor menyanyikan Lagu “Indonesia Raya”. Sungguh kebodohan karena kurangnya pengetahuan.

Selanjutnya, menyanyikan hymne “Oh Pondokku”. Ketika ini, masih dengan dengan sikap sempurna, keluarga besar PM Gontor itu menyanyi dengan penuh perasaan, kenangan, dan dengan semangat kegontoran. Ketika musik pengiring baru memainkan intro (pendahuluan), warna emosi para alumni itu berubah: bibirnya mulai bergetar emosional. Para alumni sepuh di barisan kursi terdepan, tampak memejamkan matanya rapat-rapat. Raut wajahnya yang keriput terlihat menyimpan sejuta rasa dan kenangan; kian tampak lagi saat baris demi baris dan bait demi bait dari lirik hymne itu terucapkan; tak terbendung: raut mukanya menjadi sebak; air matanya tidak hanya menitik tapi mengucur deras, namun dibiarkan, tanpa disekanya dengan sapu tangan. Yang tua, yang muda, alumni tahun 1950-an, 1960-an hingga alumni teranyar (2016), semua larut dalam getaran emosi yang sama, terasa pulang ke rumah Ibu Kandung: Pondok Modern Darussalam Gontor.

Beragam alasan air mata mengucur. Alumni senior, mungkin saja, merasa pilu, membayangkan para Trimurti itu tengah berdiri tegak di depannya, di panggung kehormatan, lantas berpidato dengan lantang, laksana singa tengah mengajari anaknya belajar berburu. Mereka merindukan kembali sentuhan, pendidikan, pengajaran, bahkan kemarahan sang kiai itu, seperti puluhan tahun silam saat masih muda. Tempaan itulah yang membuat para alumni tegar berjuang di masyarakat hingga sekarang, hingga usia senjanya. Tak kalah pilunya, saat mengenang guru-guru dan sahabat karib yang telah wafat, mendahului mereka. Air mata pun menjadi pertanda kesyukuran.

Alumni dekade 1970-an, ketika Pak Sahal dan Pak Zar masih hidup, akan mengenang bagaimana beliau berdua sering bertemu, berbincang di depan rumah Pak Zar, atau Pak Sahal yang acap menyeret kursi hingga ratusan meter untuk mengawasi bangunan dan pekerjanya. Bersyukur pula, mereka masih sempat diajar Pak Zar di kelas; mereka masih menyaksikan ledakan warna emosi Pak Sahal saat berpidato, atau pidato Pak Zar yang selalu sederhana namun sistematis, mudah dicerna, berisi prinsip-prinsip kepondokmodernan, terkadang berisi pandangannya terhadap fenomena kontemporer, baik nasional maupun mondial.

Sementara, alumni setelah tahun 1977 (usai Pak Sahal wafat), hanya sempat melihat Pak Zarkasyi, yang tegar berjuang sendiri, tetap mengajar di usia senja, meniti kelas demi kelas dengan langkah gontai, dan getaran bibir melafazhkan zikir. Jelas ada kerinduan diajar beliau seperti dulu. Betapa tidak, kepandaian, keterampilan hidup, dan kehormatan, serta kemampuan yang dimilikinya adalah hasil didikan beliau. Kenangan itu membuat air mata mengalir kian deras. Juga kenangan tentang bagaimana Pak Zar menata sistem Pondok Modern, terucap dalam pidato-pidatonya pada pertemuan guru-guru (Kemisan), sungguh tampak berat namun harus dilakukan, demi kelanjutan perjuangan, kelangsungan hidup pondok.

Adapun para alumni yang tak pernah meyaksikan seorang pun dari tiga pendiri pondok itu tetap memiliki banyak kenangan, pengalaman selama mondok. Bagaimana mereka memulai hidup di pondok dengan rasa tertekan, kemudian mulai belajar berorganisasi; menjadi pengurus asrama, menjadi pengurus OPPM, PBR, dan PBS. Sungguh, penuh dengan tekanan, gesekan, konflik, dan persaingan; namun juga sarat dengan pendidikan ukhuwwah, keikhlasan, tanggung jawab, kerjasama, dan sebagainya. Mereka digembleng oleh generasi penerus yang tak kalah semangatnya dengan Trimurti pendahulunya. Semua itu sanggup membuat mereka menangis. Ya, menyanyi sambil menangis, dengan kucuran air mata yang deras: air mata kenangan, air mata kerinduan.

Saya, yang  bukan alumnus Gontor, “menikmati” suasana mengharukan itu, dan membiarkan air mata saya ikut meluncur di balik kaca mata. Ada kenikmatan nostalgik tersendiri demi ikut serta melantunkan dan mendengarkan lagu itu. Mungkin telah ratusan kali hymne itu terdengar di telinga, dari kecil sehingga dewasa. Dari itu pula kecintaan kami kepada pondok mulai terbina, yang dimulai dari rasa heran, kemudian rasa bangga, lantas cinta.

Tidak seperti pada pertemuan-pertemuan di tempat lain, usai menyanyikan hymne “Oh Pondokku”, para hadirin terdiam, melandaikan perasaannya yang baru saja teraduk-aduk saat melantunkan hymne itu. Sambil mengusap air mata dengan lengan baju atau sapu tangannya, mereka kembali duduk tafakkur, berzikir, dan berdo‘a untuk pondok, para pendiri, para kiai, para guru, dan murid-muridnya. Tidak ada yang bertanya, “Mengapa menangis?” Karena isi hati mereka sama. Sungguh, suasana yang amat sulit dilukiskan. Upaya untuk itu tak mungkin mewakili perasaan ribuan alumni yang hadir. Hymne itu laksana medan magnet yang memancarkan resonansi kepada pelantun dan pendengarnya. Siapapun yang berada di sana, hatinya akan ikut bergetar, hanyut dalam aliran rasa para alumni, pelantunnya. Rasanya, tak ada fanatisme kealumnian sekuat alumni Gontor. Oh, Pondokku… Ibuku. Nasrulloh Zainul Muttaqien

 

 

Malam ini, Kami akan Menjadi Saksi Dongeng Sepuluh Tahunan itu

0

Sepuluh tahun lalu, kami pernah mendengar ada sebuah penampilan yang ditahbiskan sebagai pentas paling akbar di pesantren kami. Karena belum menjadi santri kala itu, kami hanya mendengar dari omongan orang-orang dahulu tentang semaraknya dan fenomenalnya perhelatan seni itu. Pentas akbar yang hanya digelar saat jenjang usia tertentu Pondok Modern Darussalam Gontor itu, bernama Darussalam All Star Show.
Dan hari ini, 8 September 2016, seluruh santri Gontor dari Kelas 1 hingga guru paling senior, mendapat kesempatan langka tersebut. Hari ini kami akan mempertunjukkan, sekaligus menonton sendiri Darussalam All Star Show pada Peringatan 90 Tahun Gontor. Ya, usai rentetan kegiatan Peringatan 90 tahun Divisi Santri, hari ini adalah puncaknya. Kami semua, tentunya masyarakat juga, akan disuguhi sajian seni yang akan diisi seluruh bintang yang ada di Gontor. Karena bertajuk “All Star”, maka pentas ini tak dapat dibandingkan dengan Drama Arena ataupun Panggung Gembira yang digelar tahunan. Bukannya mengecilkan kedua pentas itu, namun memang keduanya tak dapat mengeluarkan “All Star” di Gontor. Mengingat adanya pakem-pakem yang telah ditetapkan bagi kedua pentas tersebut, yakni batasan kelas yang mengikat.

Persiapan Panitia jelang Darussalam All Star Show
Persiapan Panitia jelang Darussalam All Star Show

Namun malam ini, “All Star” tersebut akan kami saksikan kembali. Dari manusia masterpiece Gontor di bidang musik, seni tari, teater, tarik suara, broadcast, drama, multimedia, hingga bidang pelaksanaan, semacam dekorasi, pertamanan, dan perlengkapan, akan kami saksikan bersama masyarakat malam hari ini.
Kesyukuran ini tak terbendung adanya. Kami rindu suasana seperti ini. Saat para guru tanpa gengsi ‘turun gunung’ ikut tampil bersama para santri hanya semata-mata ingin menunjukkan bahwa inilah adanya penampilan terbaik di Gontor. Makna “All Star” adalah optimalisasi dalam pementasan, puncak dari segalanya, dan batas tertinggi dari kemampuan seluruh anak adam yang bernafas dalam Pondok Gontor ini.
Maka tak ayal, jika malam ini, hati ini serasa berdebar menantikan show tersebut. Rasanya sayang jika dilewatkan. Acara ini sengaja digelar di lapangan hijau, mengingat salah satu tujuan dari pementasan adalah menghibur masyarakat. Sebagai bentuk kesyukuran Pondok menginjak usianya yang ke-90 tahun.
Semoga malam ini bintang-bintang menghiasi langit demi kelancaran acara Darussalam All Star Show, memayungi bintang-bintang yang malam ini pula, akan menghiasi panggung pementasan akbar tersebut. Kalau boleh memberi nasihat kepada seluruh santri, “Nak, saksikan dengan kelopak tak tertutup sejak awal, resapi aura malam ini ke dalam sukmamu, arahkan hatimu untuk menerima segala suguhan hebat, dan sembari berdoa dengan rendah hati, agar ini semua mendatangkan keberkahan kepada Pondok kita, sekarang, dan untuk selamanya.”binhadjid

Saksikanlah! DASS Siap Tampil untuk 90 Tahun Gontor

0
whatsapp-image-2016-09-07-at-10-34-26-pm
Persiapan Panggung DASS 90 Tahun Gontor untuk Kamis malam, 8 September 2016

GONTOR–Hari yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga. Darussalam All Stars Show (DASS) sudah siap membuat Peringatan 90 Tahun Pondok Modern Darussalam Gontor sensasional dan spektakuler. Panggungnya sudah berdiri tegak dengan gagah dan megah di Lapangan Hijau Gontor mulai Rabu (7/9) ini. Pada Kamis malam nanti, 8 September 2016, pagelaran seni sejenis Panggung Gembira ini benar-benar akan menciptakan malam nan indah bagi para penikmat seni dan keterampilan santri yang dikolaborasikan dengan kreativitas guru-guru.

“Acara yang penuh dengan kreativitas seni ini, bisa dikatakan, berada setingkat di atas Panggung Gembira, walaupun keduanya memiliki konsep yang hampir sama. Memang, konsep acaranya berpatokan pada penyelenggaraan Panggung Gembira. Akan tetapi, keterampilan seni yang akan dipertunjukkan diupayakan lebih menghibur, inovatif, dan memukau,” ujar Ardhika Wahyu Kuncoro, selaku Penanggung Jawab Acara dari Panitia Pelaksana DASS 90 Tahun Gontor pada awal latihan DASS, Selasa (16/8) bulan lalu.

Wajar saja jika DASS berada setingkat di atas PG dengan gebyarnya yang luar biasa, karena acaranya didukung mahasiswa dan guru-guru, baik guru junior maupun senior, tidak hanya mengandalkan kreativitas santri. “Berbeda dengan PG, guru-guru dan mahasiswa yang memiliki bakat terbaik di bidang seni akan berkolaborasi dengan santri-santri pilihan dari kelas 1–6 Kulliyatu-l-Mu‘allimin Al-Islamiyah (KMI) untuk menampilkan penampilan terbaik mereka pada acara DASS 90 Tahun Gontor nanti,” kata Ardhika, menjelaskan perbedaan PG dengan DASS.

Selain itu, lanjut Ardhika, acara DASS sengaja dikonsep lebih spektakuler sesuai namanya, karena latar belakang dan tujuan penyelenggaraannya berbeda dengan PG yang secara rutin dilaksanakan setiap tahun oleh siswa kelas 6 KMI. Panggung Gembira merupakan puncak acara Pekan Perkenalan Khutbatul ‘Arsy. Sedangkan DASS diadakan secara khusus dalam rangka memperingati milad Gontor yang ke-90.

“Idenya muncul pertama kali sepuluh tahun silam, tahun 2006, yaitu pada Peringatan 80 Tahun Pondok Modern Darussalam Gontor. Pada tahun itulah, Gontor menggelar DASS untuk pertama kalinya. Maka, DASS yang akan dilaksanakan pada Kamis malam nanti, tanggal 8 September 2016, merupakan yang kedua sepanjang sejarah Pondok Modern Darussalam Gontor,” ungkap Ardhika.

Lebih dari itu, Ardhika menambahkan, DASS ini digelar di tempat terbuka yang lebih luas, yaitu bertempat di Lapangan Hijau Pondok Modern Darussalam Gontor. Acara ini tidak sama dengan PG yang–sebenarnya–diperuntukkan bagi santri-santri dan guru-guru seperti biasa di depan Balai Pertemuan Pondok Modern (BPPM). Sebagai salah satu acara dalam agenda besar Peringatan 90 Tahun Gontor, DASS bertujuan menghibur sekaligus mendidik masyarakat luas, tidak hanya keluarga pondok.

Bertempat di lapangan terbuka, panggung untuk DASS memang lebih besar dibandingkan panggung yang dipasang untuk PG. Menurut Ardhika, panggung yang disiapkan untuk DASS berukuran 20 x 10 meter persegi. Panggung untuk PG lebih kecil, hanya berukuran 18 x 6 meter persegi. Sedangkan background-nya didesain ulang, tidak menggunakan background PG seperti halnya DASS pada Peringatan 80 Tahun Gontor. Kata Ardhika, background DASS tahun ini lain dari yang lain, bentuknya tidak simetri lipat seperti biasanya.

Kepanitiaan DASS kali ini diketuai oleh tiga orang guru yang sangat berpengalaman dalam penyelenggaran acara pentas seni. Mereka adalah Andika Putra Rianda, Badrut Tamam, dan M. Abdullah. Ketiganya bekerja sama dengan guru-guru yang terlibat di kepanitiaan Peringatan 90 Tahun Gontor Divisi Kegiatan Santri, dibantu sejumlah santri kelas 5 dan 6 KMI untuk mengonsep dan menyelenggarakan acara. Dari data panitia, santri dan guru yang dilibatkan untuk tampil memeriahkan DASS 90 Tahun Gontor ini mencapai 1.000-an lebih.

Penyelenggaraan DASS di usia Gontor yang ke-90 tahun ini mengangkat tema tentang estafet nilai, bermottokan “Gontor Mengestafetkan Nilai-nilai Perjuangan untuk Kemuliaan Umat dan Bangsa”.

“Saksikanlah! Anda akan menikmati rangkaian acara DASS yang disusun berdasarkan lima nilai utama yang dimiliki Pondok Modern Darussalam Gontor, yaitu terangkum dalam Panca Jiwa. Maka, terdapat lima acara inti di dalam rangkaian acara DASS 90 Tahun Gontor di samping acara lainnya. Kelima acara tersebut diformat secara khusus menggambarkan Panca Jiwa Pondok Modern Darussalam Gontor,” terang Ardhika mengakhiri penjelasannya sambil mengajak pemirsa untuk menonton DASS istimewa pada Kamis (8/9) malam nanti. shah wa

Klarifikasi tentang Acara “International Talk by Dr. Zakir Naik”  

0

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

Sebagaimana tertera dalam Jadwal Peringatan 90 Tahun Pondok Modern Darussalam Gontor, sedianya tanggal 6 September 2016 ada kegiatan “International Talk by Dr. Zakir Naik”.

Terkait acara tersebut, Panitia menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Hingga kini, Panitia telah mengirimkan Proposal Kegiatan kepada Tim Dr. Zakir Naik untuk mengundang beliau, guna menyampaikan ceramah di beberapa tempat di Indonesia seputar “Perbandingan Agama dan Hubungan Sains dan Agama”.
  2. Panitia mengadakan kerja sama dengan UMY Jogyakarta, UHAMKA Jakarta, serta ITS untuk acara tersebut. Dan telah mengadakan rapat di Universitas Darussalam Gontor. Keempat universitas ini siap menjadi tuan rumah dalam acara tersebut. Tanggal dan waktunya disesuaikan dengan kesiapan Dr. Zakir Naik dan timnya.
  3. Sejauh ini, Panitia juga telah menghubungi secara khusus kantor Dr. Zakir Naik untuk menanyakan kepastian tanggapan kesediaan dari pihak Tim Dr. Zakir Naik terhadap surat Panitia.
  4. Melalui alumni Gontor di Saudi Arabia, atas nama Panitia, juga telah menyampaikan surat khusus kepada Dr. Zakir Naik secara pribadi saat kunjungan beliau ke Saudi Arabia.
  5. Dan melalui alumni Gontor di Malaysia, atas nama Panitia, juga telah menyampaikan kembali surat kepada Tim Dr. Zakir Naik untuk maksud yang sama.
  6. Serta melalui alumni Gontor yang bekerja di Kedutaan Besar Indonesia di India, atas nama Panitia, juga telah menghubungi Dr. Zakir Naik dan timnya secara khusus.
  7. Dalam surat Panitia yang dikirimkan kepada Tim Dr. Zakir Naik juga telah dilampirkan keterangan bahwa Panitia siap terbang ke India untuk menghadap secara khusus kepada Dr. Zakir Naik jika diperlukan.
  8. Namun, hingga kini, Panitia belum mendapatkan jawaban kepastian kedatangan Dr. Zakir Naik ke Indonesia.
  9. Maka, dengan ini, acara Dr. Zakir Naik yang awalnya akan diadakan pada 6 September 2016 dinyatakan tidak dapat dilaksanakan pada waktu tersebut.
  10. Namun, Panitia 90 Tahun Gontor Divisi UNIDA belum membatalkan acara Dr. Zakir Naik dan Panitia masih terus melakukan komunikasi dengan Dr. Zakir Naik hingga mendapatkan kepastian.
  11. Panitia belum dapat memastikan waktu dan tempat akan dilaksanakannya acara tersebut hingga ada kepastian dari Tim Dr. Zakir Naik. Informasi lebih lanjut akan kami sampaikan di kemudian hari.
  12. Mengatasnamakan Panitia, kami memohon maaf atas ketidaknyamanan selama ini. Semoga Allah memberikan jalan kemudahan terlaksananya acara yang sedang dinanti-nanti oleh banyak kalangan di Indonesia ini. Amin.

Terima kasih

 

Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

a.n. Panitia International Talk by Dr. Zakir Naik

Syukuri 90 Tahun Eksistensi Pondok, 100 Kader Gontor Menapaktilasi Perjuangan Trimurti pada Masa Pemberontakan PKI 1948

0

WhatsApp Image 2016-09-07 at 7.04.48 AMGONTOR–Pondok Modern Darussalam Gontor telah berusia 90 tahun dengan segudang prestasi dan pencapaian yang luar biasa. Eksistensinya yang terus mewarnai Nusantara dan dunia saat ini tidak terlepas dari perjuangan Trimurti yang tulus ikhlas berkorban untuk kemajuan pondok dan pantang menyerah dalam mempertahankannya. Maka, untuk mensyukurinya, hari ini, Rabu (7/9) pagi, Pimpinan Pondok, K.H. Hasan Abdullah Sahal dan K.H. Syamsul Hadi Abdan memberangkatkan 100 orang alumni dan kader Gontor untuk melaksanakan Napak Tilas Perjalanan Trimurti ke Sooko.

Di sepanjang jalan dari Gontor menuju Sooko memang tersimpan kisah perjuangan dan pengorbanan Trimurti beserta rombongan santri mereka saat itu. Kisah ini terjadi pada tahun 1948, saat PKI mencoba melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Sejumlah pondok pesantren dengan para kiai dan santri-santrinya terkena imbas pemberontakan ini karena dianggap menjadi penghalang upaya-upaya PKI dan antek-anteknya mengambil alih kekuasaan. Sehingga, sejumlah pondok pesantren yang dicurigai menggalang perlawanan terhadap PKI diserang hingga tidak sedikit santri-santri yang kehilangan nyawa, begitu juga para kiainya.

Pondok Modern Darussalam Gontor pun tidak luput dari kecurigaan PKI, walaupun jarak Gontor dari pusat pemberontakan mereka di Madiun terpaut 40 kilometer. Oleh sebab itu, berdasarkan kisah yang tertuang di buku biografi K.H. Imam Zarkasyi, keadaan yang semula tenang menjadi penuh kekhawatiran. Saat itu, para santri menjadi resah. Mereka khawatir akan menjadi korban situasi yang tidak menguntungkan itu. Sebagian santri kemudian ada yang minta izin pulang, khususnya mereka yang bertempat tinggal tidak jauh dari pondok. Sementara itu, sebagian lain masih banyak yang tetap tinggal di dalam pondok. Kiai Imam Zarkasyi dan Kiai Ahmad Sahal, sebagai Pimpinan Pondok, mencoba bersikap tenang sambil berpikir tentang langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mengantisipasi keadaan tersebut.

Setelah dua hari berlalu, pemberontak mulai memasuki wilayah Jetis yang hanya berjarak 3 kilometer di sebelah barat Gontor. Saat itu mulai terdengar berita bahwa sejumlah kiai telah dihabisi oleh PKI. Mendengar berita-berita semacam itu, sejumlah orang mengkhawatirkan keselamatan K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Imam Zarkasyi.

Beliau berdua kemudian bermusyawarah dengan beberapa santri seniornya, seperti Ghozali Anwar dan Shoiman. Dari musyawarah itu lalu ditetapkan bahwa melawan pemberontak adalah sesuatu yang tidak mungkin. Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah menyelamatkan diri dengan cara mengungsi.

Semula K.H. Imam Zarkasyi dan K.H. Ahmad Sahal agak enggan untuk mengungsi karena, betapapun, ia merasa bertanggung jawab atas sekitar 200 santri yang ada di pondok waktu itu. Namun, karena bujukan Ghozali Anwar dan kawan-kawan, akhirnya kedua kiai tersebut mau juga. Hanya kemudian diatur, mereka yang ikut mengungsi adalah sebagian santri yang besar-besar, sedangkan yang lainnya, terutama yang kecil-kecil, dititipkan di rumah-rumah orang desa. Untuk menjaga pondok selama pengungsian berlangsung, sekaligus menghadapi PKI jika datang, secara khusus kedua kiai tersebut menugaskan santri Shoiman.

Lalu direncanakan pengungsian ke Trenggalek melalui jalur utara melewati Gunung Bayangkaki. Namun, belum sempat pengungsian dilakukan, seorang utusan pemberontak PKI telah datang ke Gontor menyampaikan sepucuk surat. Isinya perintah agar segenap penghuni pondok menyerah dan tidak meninggalkan pondok. Jika perintah ini tidak ditaati, berarti akan terjadi bencana yang tidak terhindarkan bagi segenap keluarga dan pemuda pondok, demikiran surat itu mengancam.

Mulanya K.H. Imam Zarkasyi dan K.H. Ahmad Sahal sempat mempertimbangkan isi surat tersebut, tapi keduanya tetap memutuskan untuk mengungsi. Dilaksanakanlah pengungsian ke Trenggalek secara diam-diam. Pada pagi-pagi buta, mulai diperintahkan kepada santri yang hendak turut mengungsi bersama kiai untuk meninggalkan pondok dua-dua atau tiga-tiga. Rute perjalanan telah dipersiapkan sebelumnya. Ada sekitar 70 santri yang ikut mengungsi waktu itu. Dengan memakai pakaian rakyat biasa, agar tidak mudah dikenal orang, K.H. Imam Zarkasyi dan K.H. Ahmad Sahal meninggalkan pondok pada giliran paling akhir di belakang para santri.

Santri yang masih di pondok ada sekitar 150 orang, termasuk Shoiman yang diserahi tugas untuk menjaga pondok. Selain itu, satu-satunya sesepuh yang masih tinggal di pondok adalah Bapak Rahmat Soekarto, kakak tertua K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Imam Zarkasyi, yang juga Lurah Desa Gontor waktu itu.

Dalam pengungsian ke Trenggalek melewati jalur utara ini, orang memang harus berjalan dari kampung ke kampung melewati jalan setapak, sebelum akhirnya melewati wilayah pegunungan. Saat itu, perbekalan yang dibawa santri hanya sejumlah uang yang tidak terlalu banyak, meski sepanjang perjalanan mereka juga hampir tidak pernah menjumpai warung. Perjalanan akhirnya harus menaiki bukit dan menuruni jurang melewati Gunung Bayangkaki. Setelah itu, baru mereka menjumpai warung. Kelompok yang berada di depan sedikit beruntung karena dapat membeli makanan dan minuman yang ada di warung. Tapi, kelompok yang datang belakangan, termasuk K.H. Imam Zarkasyi dan K.H. Ahmad Sahal, hanya bisa gigit jari karena yang mereka jumpai tinggal kendi-kendi kosong dan beberapa kulit pisang atau kulit ubi yang sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi.

Matahari mulai condong ke barat. Perjalanan yang harus ditempuh pun bertambah sukar, di samping badan mulai letih dan rasa haus yang tak tertahankan. Tapi, perjalanan tidak bisa berhenti, sampai akhirnya K.H. Imam Zarkasyi dan rombongan tiba di puncak pegunungan Soko. Di sini K.H. Imam Zarkasyi dan K.H. Ahmad Sahal sejenak sempat menikmati indahnya pemandangan alam. Kedua kakak beradik ini lalu menatap ke timur dan dilihatnya Gunung Wilis yang berdiri megah. Dari sebelah utara mereka menyaksikan dataran wilayah Madiun dan Ponorogo dengan latar belakang Gunung Lawu-nya. Di arah barat samar-samar terlihat kampung Gontor berada.

Selama mereka melewati pegunungan Soko sampai masuk Desa Ngadirejo, suasana terlihat aman-aman saja. Namun, secara tidak diduga, ketika mereka mulai tiba di Dukuh Gurik, tiba-tiba K.H. Imam Zarkasyi dan rombongan dikejutkan oleh suara kentongan yang disertai hiruk-pikuk santri yang berada di depan. Kiai Imam Zarkasyi dan Kiai Ahmad Sahal yang masih berada di belakang bergegas menuju ke depan ke tempat asal suara. Apa yang mereka lihat? Segerombolan orang bersenjatakan golok, tombak, bambu runcing, dan sabit ternyata telah mengepung mereka. Melihat sikap dan gerak-gerik mereka, ada firasat tidak baik yang terdetik dalam hati K.H. Imam Zarkasyi dan rombongan tentang gerombolan yang sedang berada di hadapan mereka ini.

Dugaan mereka tidak salah. Gerombolan yang kebanyakan dari kalangan warokan (para jagoan Ponorogo-red)  ini ternyata bagian dari gerombolan PKI. Dengan nada kasar dan bengis, mereka lalu menginterogasi anak-anak Gontor.

Sempat terjadi ketegangan saat itu antara para santri dan pemberontak, malah hampir-hampir terjadi tindak kekerasan. Mereka agaknya ingin memastikan bahwa rombongan santri tersebut adalah anggota tentara Hizbullah. Ini karena mereka tahu, pada 9 September 1948 di Gontor telah diadakan rapat Masyumi untuk wilayah Ponorogo. Mereka menduga kuat Pondok Modern Gontor telah terlibat dalam kegiatan politik, atau mungkin telah dijadikan markas tentara.

Dalam suasana demikian, K.H. Ahmad Sahal sebagai yang tertua di antara anggota rombongan secara tekun meyakinkan pemberontak bahwa rombongan santri ini bukanlah tentara, melainkan murni pelajar. Dari perbincangan yang kadang mengundang ketegangan itu, akhirnya sedikit demi sedikit kaum pemberontak mulai melunak.

“Baik, sementara ini Bapak tidak kami apa-apakan. Tapi Bapak tetap kami tahan menunggu proses lebih lanjut. Pondok Gontor akan kami geledah. Sekiranya keterangan Bapak tadi bertentangan dengan kenyataan yang ada di pondok, akibatnya akan Bapak rasakan sendiri.” Demikian ancaman dari pemimpin pemberontak itu. Untuk menghindari ketegangan, K.H. Ahmad Sahal menyanggupi semua maksud pemimpin pemberontak tadi.

Suatu keberuntungan waktu itu adalah bahwa sejauh itu tampaknya belum ada di antara pemberontak yang tahu secara persis sosok K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Imam Zarkasyi. Mungkin mereka juga tidak tahu bahwa kedua kiai tersebut sedang berada di antara rombongan.

Sebagai tindak lanjut dari penangkapan ini, pemberontak kemudian menggiring rombongan ini ke sebuah kamar tahanan di Dukuh Buyut yang masih terletak di Desa Ngadirejo. Kiai Imam Zarkasyi dan rombongan ditahan di Dukuh Buyut selama semalam. Esoknya, mereka dipindah ke Dukuh Ploso. Esoknya lagi, mereka dipindah ke Kecamatan Soko. Di sini mereka ditahan selama dua malam, sebelum akhirnya dibawa ke Ponorogo.

Selama ditahan, pakaian mereka dilucuti. Tinggal lembaran pakaian dalam saja yang masih menempel di badan. Makanan yang diberikan hanya ketela rebus. Suasananya serba tidak pasti. Tidak ada keceriaan meliputi hati anggota rombongan. Semua prihatin. Selama ditahan para santri disarankan, baik oleh K.H. Imam Zarkasyi maupun K.H. Ahmad Sahal, agar selalu berdoa dan bertawakkal kepada Allah karena mereka masih belum tahu nasib apa yang akan menimpa mereka esok hari.

Dalam suasana ketidakpastian itu, terjadi semacam perdebatan kecil antara K.H. Ahmad Sahal dan adiknya, K.H. Imam Zarkasyi. Apa yang mereka perdebatkan adalah siapa di antara mereka yang harus mati jika terpaksa situasi menghendaki pengakuan salah seorang di antara mereka sebagai Kiai Gontor.

Tersusunlah sebuah skenario yang siap dijalankan jika PKI memaksa mereka harus menunjukkan sang kiai. Walaupun skenario telah dipersiapkan, akhirnya tak seorang pun di antara mereka yang harus mati. Kalau sekadar penganiayaan barangkali ada, terutama kepada Ghozali Anwar dan Imam Badri yang disiksa di kamar tahanan Sooko saat diinterogasi secara khusus oleh pemberontak. Mereka diduga kuat sebagai tentara karena fisik mereka tegap. Bahkan, Ghozali Anwar sebenarnya adalah seorang komandan Hizbullah di Ponorogo.

Kiai Imam Zarkasyi dan santri-santrinya yang lain kemudian dipindahkan ke kamar tahanan Sooko, menyusul Ghozali Anwar dan Imam Badri yang telah dipindahkan kemarin sorenya. Ketika bertemu kawan-kawannya, kedua santri tersebut kelihatan memar karena pukulan. Mereka berdua memang sempat dipukuli hingga pingsan karena tidak mau mengaku sebagai tentara. Malam itu, semua anggota rombongan dimasukkan ke dalam kamar tahanan berukuran 4 x 4 meter persegi. Bisa dibayangkan, bagaimana kamar sekecil ini harus dihuni oleh 70 orang.

Esok harinya, rombongan dibawa ke Pulung, lalu dengan berjalan kaki digiring ke Kota Ponorogo. Di Ponorogo, mula-mula mereka ditempatkan di Panti Yugo, rumah besar di sebelah selatan alun-alun yang pernah dijadikan markas Kodim tahun 1960-an. Dari situ kemudian mereka dipindahkan ke Masjid Muhammadiyah. Saat itu ada dua kriteria tahanan. Pertama, tahanan berat yang dikumpulkan di rumah penjara. Umumnya bisa dipastikan mereka akan dibunuh. Kedua, tahanan ringan yang dikumpulkan di Masjid Muhammadiyah Ponorogo.

Di Masjid Muhammadiyah ini, tempat tahanan golongan kedua, juga dipasangi bom yang siap diledakkan. Untung, saat itu reaksi pemerintah RI cepat dan tepat. Tanggal 22 September 1948, Kabinet Hatta telah mengerahkan TNI di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto yang memberi komando penumpasan antek-antek PKI dari Solo. Hari-hari itu tentara Siliwangi sudah mulai bergerak di wilayah Madiun. Kaum pemberontak pun mencoba melawan. Tapi, belum sempat memberikan perlawanan, mereka sudah kocar-kacir.

Di Ponorogo, di bawah pimpinan Abd. Choliq Hasyim (putra K.H. Hasyim Asy‘ari), tentara berhasil memadamkan aksi pemberontak, termasuk menyelamatkan para tawanan. Secara keseluruhan, dalam tempo kurang dari seminggu, aksi pemberontakan PKI di wilayah Madiun dan sekitarnya sudah dapat dipadamkan. Pimpinannya, Muso ditembak mati, sedangkan Amir Syarifuddin ditangkap untuk kemudian juga dijatuhi hukuman mati.

Terkait peristiwa yang mengancam keberlangsungan pondok ini, K.H. Ahmad Sahal pernah berujar sebagai bentuk ungkapan rasa syukurnya, “Nyawa saya ini nyawa lebihan, mestinya saya sudah mati di tangan PKI sejak di Buyut.” shah wa

Jamrana Peringatan 90 Tahun PMDG: Gontor Pusat Juara Umum dan Gontor 6 Juara Favorit

0

MADUSARI – Kegiatan Jambore dan Raimuna (Jamrana) dalam rangka Peringatan 90 Tahun Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) resmi ditutup pada Senin (6/9) kemarin. Tepat pukul 14.15 WIB upacara penutupan dimulai. Kegiatan Jamrana tersebut ditutup langsung oleh Wakil Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Jawa Timur, H. Ari Iskandar.

Dalam sambutannya, H. Ari Iskandar menyampaikan bahwa beliau melihat perbedaan yang sangat jauh Antara pramuka di Gontor dan di luar Gontor; kalau di luar Gontor pramuka harus dipaksa, sedangkan di Gontor Pramuka menjadi penggerak kegiatan pondok.

Acara penutupan tersebut diawali dengan pembacaan laporan umum dari panitia penyelenggara yang dibacakan oleh Al Ustadz Zulfahmi Zarkasyi, S.Pd.I. Dalam laporan tersebut dipaparkan ulasan terkait pelaksanaan seluruh kegiatan; mulai dari jalannya perlombaan hingga kegiatan survival camp di kawasan Mojosami dan Sarangan.

Kontingen Gontor Pusat keluar sebagai juara umum setelah menyabet nominasi juara satu kategori penegak maupun penggalang. Sedangkan untuk juara favorit diraih oleh Kontingen Darul Qiyam; dengan pencapaian juara tiga penggalang dan juara dua penegak. irba